Kekacauan Naluri
Secara naluri orang-orang baik akan sangat mudah mendukung orang-orang baik namun mengapa seseorang yang baik, terpelajar dan cerdas kok sampai bisa memilih orang jahat? Kalimat “jahat” atau “baik” silakan artikan sesuai kebutuhan dan pemikiran pembaca namun ukuran umum bersifat universal.
Rasanya ada yang tidak beres dalam dirinya. Tidak mungkin hal ini terjadi pada orang yang mempunyai kebebasan mengakses informasi apalagi pada seorang penulis handal yang mempunyai segudang referensi. Kekeliruannya baru terungkap akhir-akhir ini dalam sebuah suratnya.
Di dalam surat itu ia banyak memuji “Tukang Kayu” yang dulu ia tentang. Ia berusaha tidak mempermalukan idolanya karena dengan mempermalukan idolanya ia juga mempermalukan dirinya.
Tulisan ini terinspirasi dari sebuah surat seorang pendukung kepada Ksatria Penunggang Kuda. Kita tahu kan siapa Sang Ksatria itu? Ia mengaku kecele. Dia mengatakan bahwa bukan Ksatria Penunggang Kuda yang salah karena Ksatria Penunggang Kuda yang dahulu ia bela dengan Ksatria Penunggang Kuda yang kini adalah sama. Manuver yang merendahkan harga dirinya gara-gara telah dirasuki kekuasaan membuat banyak pendukung kecewa dan malu. Ia salah satu dari sekian banyak pendukung yang telah sadar telah tersihir dengan karisma Ksatria Penunggang Kuda yang semu. Ksatria Penunggang Kuda tidak layak diberi peran dalam negara ini.
Saat membaca suratnya di sebuah grup, aku tidak menyangka karena dari profil wajahnya ditambah tulisannya yang mencerahkan sama sekali tidak mencirikan ia pendukung Ksatria Penunggang Kuda. Wajahnya halus tidak dipenuhi lubang kebencian. Giginya rapi tidak loncat-loncat mengambil kesempatan. Lubang hidungnya tunduk pada pada bumi tidak mendengus ke atas penuh curiga. Tatapan matanya bersahabat bukan menerkam.
Sebagai informasi aku sedang mengadakan penelitian kecil dengan mencari kesamaan karakter pendukung dengan tokoh yang didukung dimana tokoh sentral terpusat pada Jokowi-Ahok dan lawan-lawannya berdasarkan analisa profil wajah dan diperkuat sepak terjang mereka. Aku semakin yakin tentang suatu kelompok lain yang aku sebut kelompok “T” dan “C” yang aku temui.
Poin penting dalam suratnya adalah ia mengatakan bahwa waktu telah membuktikan siapa Ksatria Penunggang Kuda sebenarnya dan apa yang telah ia yakini benar ternyata salah besar. Hal ini persis sekali seperti hasil penelitianku, dia adalah kelompok T yang membutuhkan waktu lebih panjang dalam menentukan sebuah sikap akibat dilema berada di wilayah netral-bijak.
Tentang naluri itu: Apakah naluri bisa kacau? Menurutku bisa! Sama halnya dengan etika. Penyusun jiwa manusia adalah dimensi spiritual pencipta. Sesuatu yang suci identik dimensi spiritual pencipta itu sendiri, dimensi itu ikut terbenam saat proses penciptaan manusia yang akhirnya melahirkan suatu dorongan yang disebut naluri. Secara naluri semua umat manusia terdorong melakukan hal baik kalau rangsangan itu adalah kebaikan, nah kalau ada orang baik yang kita kenal mengapa tidak mau mendukung orang baik karena ia tidak peka lagi (kesulitan mengenal) terhadap rangsangan yang ia terima itu adalah kebaikan yang sama dengan penyusun jiwanya. Saat itu aku katakan nalurinya cacat!
Cacatnya naluri atau pola atau perilaku yang diberikan pada sebuah proses pemilihan ‘rangsangan’ disebabkan berbagai faktor. Berdasarkan apa yang lebih bisa dikendalikan agar naluri tepat memberi respon pada rangsangan maka faktor internal lebih menentukan dibandingkan faktor eksternal. Internal berada dalam pengendalian pemilih sedang yang eksternal adalah milik kendali pihak lain; seperti pihak yang berkepentingan, media dan faktor lain yang terjadi secara alamiah.
Hal lain lagi, kematangan jiwa seseorang juga tidak bisa menentukan seberapa tepat ia memilih maka kesimpulanku bahwa “proses pemilihan adalah proses coba-coba”.
Contoh kasus seperti ini sering kita temui di belahan dunia mana saja dalam berbagai proses pemilihan manusia atas pilihan-pilihan. Memilih pasangan hidup, makanan sampai pakaian yang akan dikenakan membutuhkan proses pemilihan dari tingkat sederhana sampai rumit.
Peristiwa politik seperti memilih presiden atau gubernur, memilih pasangan hidup, memilih teman atau asisten rumah tangga hanyalah sekian dari begitu banyak aktivitas manusia dalam menyelenggarakan kehidupannya yang tidak bisa lepas dari justifikasi baik atau buruk.
Justifkasi baik atau jahat adalah sebuah pilihan. Mau memilih pacar kelihatan ksatria tetapi suka ngibul atau kurus tetapi pekerja keras dan baik hati. Jadi sangat wajar ketika rakyat memilih pemimpinnya maka tokoh yang akan dipilih pasti akan terfragmentasi antara orang baik atau orang jahat!
Aku kira rakyat harus semakin yakin dan sadar tentang justifikasi jahat dan baik sebelum membiarkan proses coba-coba itu terjadi. Sekali terjadi tidak bisa diulang. Kalau efek perkawinan yang hancur mungkin hanya akan berdampak pada satu generasi, kalau dalam sebuah sistem negara minimal 5-10 generasi! Coba kita lihat hasil pekerjaan Soeharto pemimpin yang dicap jahat, cari saja satu disiplin apa yang telah ia bentuk untuk negara ini? NOL BESAR!
Kita tidak mungkin bisa menyaring semua informasi hoax walau kita sekolah sangat tinggi dan sangat jago dalam analisa serta punya kebebasan dalam mengakses informasi.
Aku setuju dengan pandangan “kebenaran bukan hanya soal fakta tetapi juga soal rasa” (kalimat ini aku baca pertama kali dari Prof. Faruk Tripoli, dosen Ilmu Budaya UGM). Fakta bicara hal eksternal yang diluar kendali pemilih. Kita harus mengedepankan “rasa” dalam memilih karena hanya ini yang berada dalam lingkaran kendali kita!
Sedikit lebih politis, penulis itu kini merasa “Tukang Kayu adalah orang baik” sedangkan aku sejak pertama sudah merasa “Dia adalah orang baik” tidak masalah! Tetapi ketika kau mulai mengalami suatu perbendaharaan “aku merasa dia orang baik”—inilah kebenaran personal dalam diri seseorang yang tidak bisa diganggu gugat yang prosesnya sangat tergantung tentang diri ini memandang hidup dan masa depan bangsa ini. Masa depan bangsa adalah masa depan diriku.
Aku mengundang kita semua mempunyai semangat sebagai penjaga keutuhan ciptaan Tuhan.
Di dalam “rasa” itu pertama kali sudah muncul kebenaran hakiki yang merupakan milik Tuhan jauh sebelum agama, pendidikan, media maupun bacaan baik dan buruk mempengaruhi kita.
Orang baik memilih orang baik.Ukuran orang baik dalam konteks sebagai pemilih yang paling sederhana misal masih ada rasa malu ketika lupa mengembalikan setrika atau kalau minum teh manis tidak bilang teh tawar.
Ukuran orang baik dalam konteks sebagai pemimpin minimal mengedepankan cara-cara beradab dan profesional dalam kompetisi! Kalau ia bisa memilih cara yang terhormat dan tidak merusak kehidupan maka bisa dipastikan dia tidak akan mencla-mencle memperjuangkan kepentingan bersama.
Dari semua itu ukuran minimal adalah apakah hati nurani ini masih punya pertimbangan sebagai seorang manusia? Apakah proses pemilihan telah melewati proses pertimbangan baik buruk yang lebih jangka panjang di dalam diri?
Orang jahat akan sangat mudah mendukung tokoh jahat adalah hal biasa dan sangat besar kemungkinan juga mendukung orang baik, namun yang tidak biasa adalah orang baik mendukung tokoh jahat!
Kalau Anda merasa belum menjadi orang baik namun kalau Anda ingin melihat kebaikan ada dalam kehidupan ini maka kebaikan akan muncul sekarang ini juga!
Artikel terkait ini:
Siapa tokoh-tokoh baik dan jahat yang dipersepsikan publik?
Sebaiknya bersikap netral atau bijak? Netral bukan selalu solusi persoalan.
Pendukung Jokowi-Basuki akan dibanjiri Kelompok “T” yang telah sadar betapa jahatnya lawan.
Sumber foto: pixabay
PENTING! SEMUA INFORMASI SITUS DILINDUNGI UU. LIHAT SYARAT & KETENTUAN PEMAKAIAN
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.