SEBUAH RENUNGAN BARU AKAN MENGINSPIRASI APABILA TUBUH DAN JIWA SIAP MENERIMANYA KALAU IA TIDAK MAU MASUK BIARKAN SAJA BERLALU {A PONDER IS ABLE TO INSPIRE IF BODY AND SOUL ARE POISED TO ACCEPT IF IT DOESN'T WANT TO ENTER JUST LET IT GOES}
Layaknya kota mampu mengubah harapan demikian juga uang mampu mengganti haluan tetapi mengapa di tengah perjalanan selalu ada cinta dan air mata.
Dimana aku akan mengakhiri dimana anakku akan mengawali mengisi sepanjang renunganku pada Des’20 dan hingga detik ini aku belum juga menemukan titik terang.
Kemanapun kita pergi semua akan kembali kepada Tuhan tetapi yang jadi masalah akarku yang selama ini kupikir sudah tenang mulai membuncah. Aku mendapatkan diriku pada Des’20 itu ingin mengejar mimpi-mimpi lamaku sebelum diriku dan akarku benar-benar menyatu tertanam dalam keabadian. Dan anakku kuharap ia sudah menjadi tunas yang kuat dan siap berperang dalam dunia yang fana ini.
Aku ingin hidup nomadik dan di setiap tujuan yang aku singgahi ada sastra kehidupan yang kuhasilkan untuk masyarakat lokal di sana. Kembali sebagai penulis secara penuh adalah panggilan jiwaku yang sesungguhnya. Yang jadi permasalahan kedua adalah aku ingin melakukannya bersama suamiku sementara aku adalah wanita tak bersuami.
Pertanyaan berat mungkin hanya tersisa sedikit di dalam hatiku terkait iman menikah hanya satu kali. Status sipilku cerai tetapi perceraian tidak ada dalam iman. Setelah lima belas tahun bertahan menjadi orang tua tunggal apakah akan menyerah? Hanya tinggal sedikit lagi perjuanganku menuju batas akhir toh? Justru mengapa hasrat ini muncul di tengah usiaku yang tidak muda lagi? Alasan anakku butuh patron kebapakan juga tidak poin lagi. Alasan yayasanku yang membutuhkan sokongan juga antara butuh dan tidak butuh.
Alasan anakku akan kuliah dua tahun lagi adalah salah satu pemicu terbesar pada akar yang melakukan pergerakan. Akarku bergerak jiwaku mencari napas.
Pikiran merajalela kemana-mana, bermain puzzle, melakukan perhitungan, mencari jalan keluar, memeta-metakan, berandai-andai, andai ini andai itu, kalau begini bagaimana kalau begitu bagaimana, atau kembali menenteramkan akar, mampukah daku?
Tetapi kata hatiku selalu ingin pergi membawa anakku keluar dari negara ini. Aku sementara mengembara bersama pasanganku anakku sementara mengejar cita-citanya.
Kumpulan Renungan
No
Tanggal
Renungan
12
2018-11-07
Judulnya Apa
Istri bukan namun aku memikirkan dirinya lumayan cukup banyak. Ia adalah sahabat bertumbuhku yang telah mendahuluiku setahun lalu. Kadang aku merasa ia datang mencariku. Pada hari pemakamamnya, di tengah prosesi itu aku berandai-andai sambil melemparkan pandanganku ke suatu bukit lain, dimana tempat aku duduk dan rencana ia akan dimakamkan adalah satu bukit lagi. Kataku dalam hati sambil membiarkan air mataku meleleh seharusnya dulu aku menikah dengannya. Entahlah mengapa aku dulu menolaknya setelah 8 tahun menantinya. Pikirku jika aku menikah dengannya bisa saja kisah hidupnya menjadi berbeda; ia tidak perlu mati muda. Lama-lama bukit yang kulihat itu seperti padang surga yang sangat damai sekali. Hatiku seperti mengalir mengikuti angin semilir dan keseluruhan atmosfir lokasi pemakamam yang tenang seperti mengaja untuk pergi jauh ke suatu dimensi kehidupan yang lain. Tempat itu indah sekali dan sedikit pun tidak mencirikan sebuah kematian; justru sebaliknya aku merasakan kehidupan.
Sahabatku akhirnya rebah untuk pertama dan terakhir kali di tanah. Bunga-bunga bertaburan untuk pertama kalinya. Setahun pun berlalu. Sebenarnya tulisan ini sudah mau kuposting pas setahun kematiannya. Menjelang setahun kepergiannya, kira-kira beberapa hari atau beberapa minggu aku tiba-tiba merasakan ia hadir di rumahku. Atau setidaknya aku tiba-tiba memikirkannya lebih banyak dari biasa. Ini semua terjadi secara refleks. Bagaimanapun ia adalah sahabat bertumbuhku, kami secara mental dan moral terikat satu sama lain dalam suatu tujuan yang sama. Lewat cara masing-masing kami memaknai hidup ini. Dulu kukira aku yang akan mati duluan karena aku menanggung penyakit lebih banyak dari dirinya, namun ternyata itulah hidup.
Menurut fenghsui yang kubaca tahun ini akan menjadi tahun terberat bagi kesehatanku. Aku sempat berpikir kira-kira bulan Febuari lalu, penyakit apa lagi yang akan menyerangku? Penyakit lama sepertinya tidak akan menggangguku kembali. Pada bulan November semua terjawab, kini aku menderita suatu penyakit yang cukup serius. Menurut teori aku akan sembuh setelah pengobatan ketat dan kuyakin aku akan sembuh. Tetapi yang kupikirkan apakah aku ke Yogyakarta untuk menjemput ajalku dan bukan di Temanggung seperti yang aku tuliskan dalam novelku? Hmn...aku sudah lama tidak memikirkan kematian setelah terbebas dari suatu penyakit yang hampir merenggut diriku 7 tahun lalu. Mungkin inilah saatnya aku napak tilas kembali dari ujung hari-hari terakhir sampai roh itu dicabut dari ubun-ubunku;
Untungnya juga aku tidak punya apa-apa sehingga tidak perlu membuat pesan ini itu kepada anakku; ini hal pertama yang paling cepat terlintas dalam pikiranku. Duhh...sangat tidak keren sekali kalau berpesan Nak jangan lupa harta karun Mama ada di bawah keramik kamar, kamu harus bobok itu lantai hati-hati agar tidak merusak berliannya, Nak jangan lupa mobil itu masih ada cicilannya loh, atau ada yang lebih parah Nak tolong lunasi hutang-hutang mama; buset inilah yang aku tidak suka dari orang mati; hidup merepotkan mau mati juga masih merepotkan;
Cita-citaku dalam hidup agar sebisa mungkin tidak merepotkan orang lain serta tidak mengambil hak orang lain kukira lumayan tercapai dengan sikap mandiri dan idealismeku yang tinggi. Hidup sederhana dan melepas apa yang bisa aku lepas sebelum batas itu hadir, kukira adalah yang paling membuatku bangga dalam hidup tetapi itu sekaligus membuatku menderita. Anakku adalah matahari terbit aku adalah matahari terbenam. Masa depan anakku ada dalam pergulatan idealismeku.
Sebagai ibu bahkan aku sudah mengatakan kepada anakku jangan jadikan diriku penghalang cita-citanya. Aku bukan seperti ibu yang cengengesan minta dibalas. Kejarlah apa yang paling kau ingini dalam hidup dan terbanglah ke sudut-sudut dunia kemanapun kamu mau pergi walau ia harus meninggalkan diriku. Aku ini hanya ibu biologisnya sementara ada yang lebih besar yang menguasai kehidupan ini yang akan mengajarinya; kepada ibu kehidupan-lah seharusnya ia mengabdi dan bukan kepadaku.
Tugasku sebagai ibu selain membesarkan anakku dan mendampinginya hingga dewasa, kukira juga tidak boleh lupa mempersiapkannya tentang kematian. Nak, bahwa kematian itu adalah soal biasa seperti air menjadi gas lalu gas mengembun dan jatuh membasahi bumi; aku sedang berpikir untuk mencoba menarasikan bahwa cintaku itu abadi walau tubuhku telah hancur apabila aku mati duluan. Maksudku adalah kematian itu sangat dekat sekali. Bahwa kematian tidak boleh meninggalkan duka yang terlalu dalam sehingga memundurkan kemanusiaan kita. Kematian adalah bagian dari kehidupan.
Dalam hati kecilku sebenarnya terus memikirkan orang-orang terkasih yang ditinggalkan oleh sahabatku. Dia meninggalkan dua anak gadis yang masih kecil dan seorang istri yang sangat mencintainya. Aku dapat merasakan istrinya masih terpukul atas kepergian sahabatku itu. Sesungguhnya aku selalu menggugat dan tidak terima mengapa orang-orang baik cepat sekali berpulang dan mengapa orang-orang sontoloyo kok lama sekali matinya.
11
2018-05-19
Manusia Listrik
Setiap langkah adalah renungan dan masing-masing renungan adalah kesempatan untuk memberi makanan kepada jiwa. Makanan lunak yang dimasukkan maka jiwa pun menjadi lembek sebaliknya makanan keras yang dijejali jiwa pun membatu.
Anasir bisa pergi tidak bisa pulang kukira sangat memalukan bagi diri yang masih mempunyai alat gerak yang sehat dan normal walau kini aku telah semakin tergantung kepada kendaraan online.
Akhirnya, kuputuskan menginjak-injak trotoar Poncowinatan, tempat sewa baju adat sampai di depan rumahku di Tegalrejo gegare listrik di hape ngedrop, aplikasi Grab muter terus tanpa menunjukkan tanda-tanda akan UP sementara hari semakin malam. Listrik menjadi masalah terbesar bagiku sejak kami tinggal di Yogyakarta karena mobilitas kami bergantung pada kendaraan online.
Kira-kira aku berjalan kaki sepanjang 5 km. Pikiranku mengembara melewati sekat. Asyik juga pikirku tanpa ada perasaan was-was sedikitpun. Ketika melihat sebuah kerangka warung di persimpangan Pingit sepertinya sudah lama ditinggalkan pembelinya, yang tertangkap olehku adalah sebuah impian yang tertunda yang pernah berjaya di sana. Aku seolah bisa rasakan ada asap harapan di atas kepala anak bini laki yang sedang bergelut dekat anglo arang. Hmn...begitu juga ketika melewati sebuah toko lampu kristal yang sangat megah dimana semua lampu kristalnya menyala dan cahayanya sangat menyilaukan mata. Dinding-dinding kacanya menjulang tinggi sekali. Dari jalan raya tempat aku berjalan itu, meskipun mataku sangat bisa menembus sampai ke ruang terdalam toko itu, namun anehnya sebenarnya yang kusaksikan adalah sebuah jalan buntu!
Sampailah aku pada suatu kesimpulan akhir tentang hidup kami di Yogyakarta; Aku merasa sejak tinggal di Yogyakarta lebih cepat terpapar emosi dan stres. Diriku sangat jarang bisa lelap dalam tidur. Entah mengapa banyak hal jadi terbawa saat tidur tidak seperti di Temanggung semua berlalu begitu ringan. Hal-hal yang kualami seperti aktivitasku meningkat tajam dan otomatis interaksi dengan orang-orang juga semakin bertambah banyak. Hal ini masih kulihat dalam koridor kebaikan karena jiwa aktivisku berkembang di sebuah gerakan yang melawan intoleransi (Gemayomi). Untuk kesehatan lebih sering sakit. Intinya aku sangat-sangat sadar hidup seperti apa yang sedang aku jalani di Yogyakarta adalah bukan hidup yang kuingini.
Untuk anakku, dapat kusarikan ia cukup menikmati Yogyakarta walau tidak secara keseluruhan. Naik turun emosi dan mentalnya sesuai dengan jiwanya yang masih terus menumbuh mencari celah. Persoalan alerginya terhadap udara dingin 100% teratasi. Makanan yang masuk ke tubuhnya semakin berlemak dibandingkan di Temanggung, namun yang aku heran berat badannya tidak bertambah sedikit pun. Tinggi badannya menjulang terus.
Dari hampir 365 hari di kota Gudeg, baru satu hari itu aku bisa merenung dengan baik di Yogyakarta sementara di Temanggung sepanjang hidupku adalah perenungan. Semua bermula dari sebuah ide untuk bergerak agak sedikit keluar dari gunung agar anakku tidak begitu tertinggal dari progress peradaban. Bahwa kukira inilah saatnya diriku membayar kembali kepada anakku atas semua kenikmatan yang kuperoleh selama ini dengan menjadi manusia gunung.
Hal lain yang aku peroleh saat berjalan kaki adalah jiwa kami akan mengalami erosi terus. Hal ini akan sangat bisa membawa kami pada 'mental metropolis' seperti dulu di Jakarta jikalau kami tidak eling. Saat ini, meraih kedamaian hati merupakan usaha keras bagi kami berdua sementara di Temanggung semua itu tercurah dari langit begitu bebasnya tanpa henti. Kami hanya perlu usaha sedikit meraihnya. Di Temanggung sebagai manusia gunung di Yogyakarta kami semakin fokus pada manusia listrik.
Malam itu aku bermaksud menyewa baju adat untuk acara besok hari memperingati hari lahir Pancasila 1 Juni 2018. Pas aku tiba salon sudah tutup, namun aku bersyukur justru karena salon tutup maka jadi bertemu seorang manusia kursi roda. Jadi, di tengah Jl. Kyai Mojo, tiba-tiba dua meter di depanku ada bayangan gelap yang sedang bersusah payah menggerakan kursi rodanya. Aku kaget sekali dan hampir menubruknya. Saat kutanya ia mau kemana katanya hendak pulang dan kebetulan rumahnya satu arah denganku. Rasa kasihan pun timbul dalam diriku. Singkat cerita, aku menghabiskan sisa satu atau dua kilometer perjalanan bersama dirinya. Kulihat ia sangat senang sekali saat aku membantunya mendorong kursi rodanya, ia tersenyum bangga. Mungkin baru sekali ini aku melihat pengemis tersenyum.
Aku menduga ia seorang pengemis yang berjalan dengan menyeret-nyeret tubuhnya yang dulu pernah kulihat dan kursi rodanya mungkin adalah hadiah dari seseorang. Aku tanya mengapa ia berada di jalan raya pada malam hari katanya mau jalan-jalan. Maksudnya jalan-jalan ya artikan saja ia sedang mencari belas kasih. Dugaanku benar, ternyata masyarakat sekitarnya sudah hapal sekali dengan kebiasaannya dan memintaku membiarkannya karena nanti akan pulang sendiri, tetapi aku tetap membantunya sampai mulut jalan ke perumahanku.
Belas kasihan pada zaman sekarang sudah semakin sulit diperoleh apalagi yang ia lakukan sudah menjadi suatu kegiatan rutin dan masyarakat juga semakin paham bahwa pengemis zaman NOW sangat pintar mengelola keterbatasannya untuk meraih simpati. Dalam ilmu matematika tentang peluang, khususnya di Yogyakarta sebagai kota wisata, kukira profesi pengemis cukup menjanjikan sebuah peluang kesuksesan. Apapun yang terpikir oleh kita, rasa belas kasih tetap tidak boleh mati.
10
2018-05-19
2018-05-19
Keyakinan Dari Pengendalian Diri
Dalam hidup ini, sebenarnya sangat banyak yang tidak kita yakini, tetapi tetap kita lakukan. Sebagian besar itu terjadi karena tidak banyak tersedia kesempatan untuk mengolah kejadian per kejadian. Selain itu, kualitas sistem pengendalian diri kita rata-rata buruk. Agama yang kita pelajari belum benar-benar menjadi basis ajaran yang bermuara pada pengendalian diri.
Sebagian besar sistem yang bekerja dalam pikiran manusia pada akhirnya membentuk berbagai kanal otomisasi yang menyerupai robot. Orang-orang yang hidup pada percepatan dunia, mesin-mesin mereka lebih cepat aus, oli agama tidak berhasil menghaluskan budi maka erosi jiwa pun terjadi semakin mengenaskan. Kekeringan melanda jiwa manusia modern. Kekeringan yang terjadi akan membentuk kerak-kerak yang akan melumpuhkan sistem pengendalian diri.
Lokalitas seperti budaya dan kebiasaan hidup juga tak mampu menyokong pengendalian diri hingga tingkat kehilangan hati nurani. Kebencian dan dendam sangat bisa menjadikan kita sebagai robot sejati.
Pengendalian diri yang bagus biasanya juga akan memberikan keluaran dalam bentuk keyakinan.
Keyakinan yang timbul dari unsur yang jernih akan menjadikan kita sebagai manusia yang lebih utuh. Sistem otomatisasi itu mendapat pembelajaran moralitas, tujuan hidup dan kepentingan yang lebih besar. Maka seandainya, jikalau ada yang kita yakini dalam termin ini, tetapi tidak kita lakukan maka kita juga adalah robot. Kita sebenarnya sedang masuk ke tahap siluman jika menjalankan keyakinan yang bukan dari unsur yang jernih.
Robot yang bisa merekayasa diri adalah siluman.
9
2017-08-06
06 Agustus 2017
Kembali Bisa Merenung Lagi: Cara Biasa Hasil Luar Biasa
Tanpa pasangan hidup dan hanya mengurus satu anak seharusnya membuat hidup sangat ringan namun mengapa masih mengalami kemacetan luar biasa seperti yang aku alami.
Seorang tetangga laki-laki sering menggodaku dengan memintaku segera kawin lagi. Menurutnya kawin adalah solusi terbaik. Seorang teman relawan Badja juga meledekku seperti itu dan laki-laki juga. Kawan-kawan wanita juga ada yang berpikir seperti itu tetapi mereka segan mengatakannya kepadaku. Sementara mereka masih berpikir solusi manusia diselesaikan di antara selangkang aku telah memikirkan yang jauh dari urusan tubuh.
Setelah pulang dari Jakarta sehabis 8 bulan sebagai relawan Badja di pilkada DKI 2017, aku kembali memikirkan cita-citaku untuk gunung dan nilai-nilai sederhana itu; pastinya tentang cara dan hasil.
Atas cara-cara biasa yang telah aku pilih selama ini telah membuatku cukup stres juga dan sempat putus asa karena hasil yang kuharapkan luar biasa. Tetapi juga menikmati debutnya. Aku sangat tertantang ide CARA BIASA tetapi HASIL LUAR BIASA. Ini masalahku yang utama.
Konsep BIASA-LUAR BIASA yang aku maksud agar dipahami dari sudut pandang diluar arus umum. Ini adalah antitesis terhadap teori kesuksesan yang diraih dengan cara umum yang dunia modern sajikan untuk kita setiap hari yang tidak ingin aku ikuti.
Kekuatan konsep ini terletak pada proses dan kemampuan memilih cara dan bisa membebaskan diri dari hasil instan.
Yang menjadi bahan renunganku adalah apakah akan tetap mempertahankan cara biasa dengan catatan hasil tidak maksimal dan bahkan tidak tercapai karena waktu terus berjalan dan staminaku semakin menurun atau menyerah memakai cara umum agar hasil cepat tercapai sesuai target atau memilih cara yang lebih fleksibel namun hasil tidak begitu mengecewakan?
Cara biasa dalam terminologi antitesis keberhasilan atau hasil yang aku pikirkan sesungguhnya aku ingin sebuah masterpiece lahir dari 'sesuatu yang kumuh dan biasa'. Aku kira hal ini sangat keren sekali! Terminologi antitesis ini sebenarnya telah terjadi secara alamiah seperti Stevie Wonder, buta tidak menghalanginya bernyanyi dan main musik. Pianis berjari 4 telah mengguncang dunia. Bill Gates, Mark Zuckenberg, Elon Musk, Steve Jobs atau Jan Koum adalah contoh-contoh kehebatan yang lahir dari kondisi terbatas 'biasa' tetapi hasil luar biasa. Bill Gates dan Mark Zuckenberg tidak lulus kuliah. Elon Musk harus mengalami kegagalan sangat parah dan Jan Koum migran yang sebatang kara di Paman Sam. Walaupun tokoh-tokoh ini sukses juga tidak terlepas dari unsur media, promosi dan mengikuti arus umum.
Dari milyaran manusia bumi untuk orang-orang seperti di atas sangat terlalu amat sedikit. Mungkin aku jenuh dengan arus umum dan muak dengan segala sesuatu yang sengaja didongkrak sehingga memilih cara biasa. Keterbatasan aku biarkan alamiah agar menghasilkan masterpiece dunia. Kukira harus gila baru akan menghasilkan sesuatu yang gila. Cara biasa-hasil luar biasa adalah ide gila.
Cara biasa yang kuperjuangkan mempunyai tujuan mulia. Membebaskan peran semesta dalam proses hidup kita. Menghidupkan kembali mukjizat dengan menjaga kepolosan jiwa manusia. Mukjizat itu bukan tidak ada lagi pada zaman modern ini tetapi pandangan kita tentang mukjizat telah bergeser sangat besar sekali.
Konsekuensi cara biasa yang aku pilih sangat jelas tidak akan mengikuti arus umum. Aku bukan melawan arus umum, aku hanya memilih tidak mau mengikutinya. Sampai hari ini aku masih konsisten tidak promosi lewat apapun, tidak terima donor langsung dan membiarkan buku berbicara secara alamiah. Ini adalah usaha-usahaku untuk menjaga jiwa kanak-kanakku yang polos. Tidak heboh mengejar hasil yang terselubung lewat keinginan diri untuk populer dan banyak foto-foto kegiatan yang bisa aku pakai untuk promosi tetapi tidak kulakukan kalau sampai aku lakukan biasanya aku mencari foto tanpa diriku. Semua ini adalah usahaku untuk setia pada cita-cita sederhana.
Jangan beritahu aku tentang jalan umum itu! Berlatar belakang bisnis dan mendalami IT membuatku sangat paham tentang 'jalan-jalan super cepat' dan 'jalan-jalan tikus'. Dari cara elegan dan kotor aku sangat tahu tetapi aku memilih menciptakan arusku sendiri. Aku mempercayai di dalam suatu arus besar 'umum' ada arus kecil yang lembut 'militan' yang riaknya tidak muncul yang menyeimbangkan hidup ini. Karakterku cocok dengan arus kecil itu.
Titik tumpu perjuangan cita-cita idealisme ini bukan semata soal berapa program berhasil diimplementasi? Berapa manfaat yang telah diterima masyarakat? Aku adalah orang yang sangat mempercayai bahwa "sesuatu tidak bersifat tunggal". Dalam konteks cara yang dipilih dan hasil yang diterima maka "selalu terkandung mudarat di dalam manfaat". Ini hasil renunganku yang lain. Mudarat adalah distorsi dan distorsi adalah selisih manfaat negatif dan positif.
Katakanlah aku tetap bertahan dengan cara biasa hingga kematian menjemputku dan jika program Candi Air Sobobanyu (CAS) belum terealisasi pun maka yang telah dan belum aku lakukan bobotnya sama. Ketika CAS terealisasi maka aku ikut menyumbang distorsi atau CAS belum terealisasi maka aku dibebaskan dari distorsi.
Titik tumpu perjuangan ini adalah diriku. Kedengarannya sangat egois memang! Tetapi kalau aku berhasil melakukannya maka kisah perjalanan ini akan memperkaya batin-batin yang haus. Kekayaan batin akan aku alami baru kemudian aku bisa bagikan. Pengaruhnya melewati batas mental, pikiran dan fisik. Jadi inilah yang kumaksud niat baik dan cita-cita bukan sekedar soal program jalan atau tidak. Selama program dianggap proyek maka pendekatan biasa-luar biasa akan menghina cara-cara licik dan busuk.
Renungan aku akhiri. Terima kasih Tuhan, aku bisa kembali masuk ke kondisi perenungan. Sebuah renungan teruslah mematangkan jiwaku, kendalikan tubuhku dan bantu aku mengatasi kesulitan dan hambatan yang ditimbulkan darinya.
8
2016-07-17
17 Agustus 2016
DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA Ke-71
{Perasaan Pada Hari Kemerdekaan}
Setandun pisang ditemani lampu disko mini menggantung dari langit-langit Balai RT kami. Anak-anak laki-laki dan bapak-bapak dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat Timur secara teratur duduk lesehan di panggung sedangkan ibu-ibu dan remaja putri duduk di kursi lipat yang berada di bawah panggung.
Mereka kaum jantan yang duduk di panggung, berlangitkan atap dari sejenis gabungan asbes dan mungkin sedikit campuran plastik PE untuk mengeraskannya sehingga angin selembut apapun tidak sanggup menimbulkan gemerisik. Kami kaum hawa menjunjung langit yang sesungguhnya dan menginjak bumi yang sebenar-benarnya. Tanpa sekat, antara lebih baik dan tidak lebih baik dari kaum jantan dalam balutan malam. Kursi-kursi yang kami duduki berdiri di tanah yang agak lembab, basah oleh air hujan yang beberapa hari belakangan ini terus-menerus mengguyur kota Temanggung. Apa arti kemerdekaan lewat angin semilir dan dingin malam terasa semakin mengendap dan menyerap ke dalam pembuluh darah dada yang hangat. Suasana yang tercipta di perasaan masing-masing mungkin seperti empis-empis tempe yang diungkep dalam kuali tanah liat. Ada rasa hangat, damai, sedikit pedas dan asam menyatu dalam rasa syukur dan senang dalam malam tirakatan hari kemerdekaan di RT kami.
Tentang Balai RT kami, sesungguhnya itu adalah sebuah panggung yang dibangun di tengah taman. Secara urunan akhirnya tempat tersebut bisa direnovasi sehingga sedikit lebih layak menyandang nama Balai RT. Di sisi kiri panggung, dibangun sebuah gudang kecil. Gudang ini sangat berguna sekali untuk menyimpan properti RT seperti alat-alat makan, tiang-tiang besi, bendera, kain umbul-umbul serta sound system dan beberapa lusin kursi lipat. Semua isi gudang telah kosong karena mereka kembali dihadirkan memenuhi hasrat kami untuk merenungi arti kemerdekaan. Acara malam Tirakatan Hari Kemerdekaan sebuah representasi republik kecil pun kami mulai.
Saat itu, bulan sedang mengunjungi malam dengan sinarnya yang cukup hangat. Udara Temanggung kuperkirakan mungkin sekitar 24 derajat Celsius. Dingin malam tetap tidak mampu menembus kulit dalam balutan jaket atau baju hangat yang dikenakan oleh semua warga. Anak-anak dan kaum remaja memakai kaus berlengan panjang merah putih yang sengaja kami pesan untuk mereka. Sesaat setelah itu, seperti ada aba-aba dari yang tidak kelihatan, mungkin dia semacam dari roh pendiri bangsa ini, Bapak Soerkarno mengundang untuk masuk ke dalam suasana penuh hikmat. Mbak Yuyun, yang sering kami isengi artis RT/RW 05/05 selalu dengan tegas lewat penampilannya yang Indonesia pada setiap malam tirakatan. Dengan atasan putih dinuansai sedikit merah sangatlah kompak dengan rok panjang merah yang ia kenakan, kerudung putih menambah semarak acara pembacaan Pancasila yang ia pandu.
Ketua RT, Bapak Ahmad Ahmadi didapuk memberi kata sambutan. Membaca prestasi yang telah diterima oleh kelurahan serta laporan kegiatan K4 secara umum walau RT kami belum begitu antusias untuk mengikuti lomba K4 tetapi ada harapan yang dinyatakan dan himbauan pelunasan PBB tak luput diselipkan dalam pidatonya. Katanya warga harus malu membuang sampah sembarangan, harus malu bersikap tidak ramah dan harus malu tidak rukun.
Kemeriahan waktu acara pemberian hadiah kepada anak-anak yang memenangi lomba mulai membahana alam sekitarnya. Mereka sangat gagah dengan pakaian merah putih. Maju satu per satu saat namanya dipanggil. Giliran terakhir anak-anak yang tidak menang lomba diminta maju untuk diberi hadiah juga agar tetap semangat!
Bakso panas yang meloncat-loncat dalam mulut segera mengenyangkan perut yang mungkin keroncongan dari sore. Kuah hangat dalam alam kemerdekaan sangatlah spesial bagi RT kami yang hanya berjumlah 27 keluarga. Malam Tirakatan Kemerdekaan dijaga oleh bapak-bapak yang akan leklekan sampai pukul 12 malam dengan memotong nasi tumpeng sebagai isyarat hari yang baru.
Pagi pun menjelang. Masih sama seperti hari-hari kemarin di alam kemerdekaan yang selalu ada dinamika, namun karena kita tahu banyak bangsa-bangsa masih terus bergumul dengan perang saudara, malam tirakatan menjadi ajang bagi kami merenungi rahmat kemerdekaan yang telah dinikmati selama ini. Kalau ditanya apa arti kemerdekaan bagiku? Kemerdekaan bagiku adalah damai. Apa artinya merdeka kalau tidak bisa hidup damai? Damai artinya bisa berdampingan karena kita hanya punya satu bumi untuk ditumpangi bersama-sama.
Dalam hidup ini aku belum pernah menemukan yang lebih besar dari bangkitnya sebuah semangat dalam rombongan suatu bangsa. Energi malam tirakatan ditambah semua unsur kesibukan dan kegiatan menyongsong hari kemerdekaan sampai upacara pagi ini di seluruh penjuru negeri adalah kumpulan semangat kolektif yang sangat dahsyat sekali. Keterlaluan kalau tidak bisa membangkitkan rasa sebangsa setanah air satu tumpah darah Indonesia!
Sayang, waktu cepat sekali berlalu sebelum semua terdokumentasi dengan baik di dalam jiwa. Kejadian semalam seperti dihapus kejadian hari ini. Untuk menanti satu tahun perayaan tujuh belasan, pada malam tirakatan kembali dan bendera merah putih berkibar lantang. Aku merenung arti kemerdekaan dari partisipasi anakku mengikuti lomba, dari antusias ibu-ibu di RT/RW kami menyelenggarakan acara tujuh belasan, dari hiasan merah putih yang bertebaran di jalan-jalan dan terakhir dari jasa para pahlawan. Sungguh, aku sedikit menyesal, awalnya agak menolak ikut lomba untuk alasan membela proposalku, kini aku merasa orang yang kurang beruntung karena semangat medan morfik kemerdekaan tidak bisa kugenggam agak banyak sementara entah tahun depan masih ada waktu?
Merdeka! Merdeka! Merdeka! Jayalah Bangsaku Jayalah Negeriku.
Dirgahayu Republik Indonesia 71, 17 Agustus 2016. Kami Bangga Jadi Orang Indonesia
7
2016-04-12
{Suatu Tempat Di Lahore}
Apapun itu, sebenarnya aku sangat berharap bisa bersamamu mengunjungi Lahore. Dalam waktu yang tidak begitu lama adalah harapanku yang lain.
Sayang, jikalau benar kesempatan itu tersedia untuk kita... Aku bayangi sedang berada di sana bersamamu saat ini. Aku ingin kita berangkat menggunakan kereta api lokal Moghalpura dan aku ingin duduk dekat jendela. Kita akan menebar cinta dari Lahore.
Di dalam kereta, dalam pelukanmu dan ketika kereta mulai bergerak menjauhi stasiun..., kekelaman yang pernah dirasakan sebagai anak negeri lepaskanlah untuk menuju kemustahilan! Akan tetapi, sejak dua kilometer kereta beranjak..., telah sangat terasa olehku...,dadamu berdegup tidak teratur! Mungkinkah itu trauma masa kecilmu sehingga kau selalu dalam kewaspadaan tinggi atau sesuatu akan menimpa kita di tengah jalan? Aku tahu, sangat banyak darah dan air mata yang tumpah dalam sejarah bangsamu dan masih belum cukup bagi mereka—saat-saat itu aku merasa semakin dekat denganmu.
Ketika kau mengetahui diriku berasal dari negeri yang sangat toleran dan damai, seolah kedamaian yang kau rindu itu sudah kau terima dariku. Di antara kita terjadi transfer luka dan pengetahuan. Aku mencoba memahami dengan melakukan perbandingkan kecil tentang frekuensi suara yang kau dengar dari desing peluru, guncangan bom dan kekerasan yang terjadi di negerimu, mungkin seperti tukang sayur yang lewat di rumahku setiap pagi. Saking begitu seringnya, kehadiran tukang sayur menjadi barang umum di negeriku, demikian jugakah semua horor yang terjadi di negerimu harus dianggap barang umum karena hidup harus terus berjalan?
Mari masuk dalam dekapanku. Sepanjang jalan yang kita lalui akan semakin memperkuatmu. Oh, sayang mengapa cinta begitu mudah menyatukan sampai mulut ini kehilangan kata-kata sementara mengapa di luar sana dunia terus bergolak hanya dikarenakan mempermasalahkan perbedaan?
Pada sebuah pemberhentian, kita berganti moda transportasi, kita menyewa sebuah rickshaw, menuju ke taman Gulshan-e-Iqbal yang menjadi tujuan utama kita. Kataku ketika di rickshaw, "Sayang, apabila tujuan kita datang untuk memberi penghormatan dengan cinta kita yang tulus dan putih ternyata dengan cinta ini juga kita harus terpisah maka pegang erat tanganku agar kau merasa bahwa di dalam penghancuran selalu ada cinta." Dan seketika berdiri di gerbangnya saat kami tiba itu...,persis sedang mengantri...Terjadilah apa yang terjadi pada hari Minggu tanggal 27 Maret 2016. Bom meledak! Lahore berdarah lagi! Langit tercabik dan tanah memerah! Hati meringis begitu sakit. Tubuhku seketika terlempar sangat jauh namun tidak sampai hancur dan masih dalam genggamanmu. Kegirangan anak-anak yang tidak sabar naik Roll Coaster berganti menjadi jeritan histeris yang mencekam. Beberapa tubuh menimpaku dan hancur di tanah, daging-daging manusia menjadi lebih tidak berharga dari kepala kambing. Keadaaan semakin tidak terkendali, isak tangis kehilangan suara.
Di tengah taman itu, mungkin kau akan seperti lelaki yang kehilangan kekasihnya sedang bersimpuh tidak percaya apa yang sedang disaksikan. Kau menangis pedih bercampur marah karena peristiwa itu terjadi pada saat kegembiraan digenggam. Mereka, sepasang kekasih baru saja bertunangan dan segera akan menikah. Lelaki itu datang membawa harapan namun kini harus pulang sendiri dengan hati yang hampa.
Hari masihlah senja untuk masuk ke malam. Dalam rintihanku di pelukanmu, sekelompok mata memantau di ujung televisi dengan senyum kebencian. Sesungguhnya tubuh merekalah yang telah mati berabad-abad lampau karena hati telah membusuk. "Sayang," rintihku yang terakhir, "Walau tubuhku hancur berkeping-keping namun cintaku akan tetap abadi."
Di taman Gulshan-e-Iqbal akan diperingati entah 16 hari, 100 hari, 1000 hari atau setengah abad untuk para korban kejahatan manusia yang tidak mempunyai belas kasih! Mereka telah kehilangan cinta! Tujuh puluh lima nyawa mungkin masih belum cukup bagi mereka namun percayalah dalam keadaan ketidakmengertian yang paling membuat manusia menderita justru cinta akan tumbuh mengisi kekosongan seperti mawar tumbuh dari batu karang.
Beberapa waktu lalu, lelaki malang itu juga mengatakan seperti yang pernah kau katakan kepadaku bahwa siapa yang tidak ingin hidup damai dan tenang dan suatu hari akan terbit matahari baru, negerimu akan menjadi macan Asia. Kedamaian akan tercipta di dunia. Lalu wanitanya bertanya seperti aku bertanya kepadamu mengapa perang tidak pernah berhenti di muka bumi? Setelah Brussel dan kini Lahore? Lelaki itu tidak menjawab seperti dirimu juga tidak menjawab, namun kami dua wanita, sama-sama mempercayainya.
Suatu tempat di Lahore, perbedaan yang menyatukan adalah kebenaran yang harus kita bawa kemana-mana. Mengharapkan persamaan yang menyatukan bagaimana mungkin? Hakikat dari persatuan bukanlah persamaan tetapi saling pengertian. Apalah hebatmu mengerti untuk hal yang sudah kau mengerti? Perbedaan tidak perlu dipungkiri dan tidak bisa disingkirkan; sebuah berita buruk bagi pelayan persatuan yang dibangun dari persamaan. Hanya orang-orang yang hatinya kelam mengingini awan gelap.
Lahore oh Lahore. Kepadamu aku berjanji akan datang bersama kekasih hati membasuh cinta yang hancur.
Suatu tempat di Lahore. Kalau kita telah bisa datang sekali, kita pasti akan bisa datang lagi dan mungkin saat itu, aku sudah belajar bahasamu, Urdu dan Pasthun. Dari bahasa, dari budaya, bola, dari makanan dan tata caranya dan sejarah, dari cara berjalan dan makna yang tersirat di dalamnya. Dari pakaian dan bahan pembuatnya atau cara menjahitnya, dari cara minum dan bahan bakunya dan cobalah panjangkan terus...semua itu adalah perbedaan! Hanya dari cinta yang kalau diurai semuanya adalah persamaan: Dunia sangat sangat butuh perspektif dari jiwa besar dan kemauan kuat untuk membiarkan semua dimensi hidup di muka bumi.
Setelah Lahore, kita akan melanjutkan ke arah Selatan menuju ke Multan, DG Khan dan Karachi, kemudian ke bagian Utara melihat keindahan Gujrat, Gujranwala, Jhelum, Rawalpindi dan keliaran Peshawar dan juga dipastikan ke barat menuju Faisalabad kota industri dan terakhir ke provinsi Khyber Pakhtunkhwa yang orangnya menyenangkan untuk beristirahat di kota kelahiranmu di Bannu; menghadapi ancaman dibunuh atas nama perbedaan untuk cinta kita yang lembut. Kalau kita bisa keluar dengan selamat saatnya dunia merayakan perbedaan.
Ps: Tulisan ini dipersembahkan kepada semua korban 16 hari Pasca Ledakan Lahore dan dimanapun berada. Khususnya untuk sepasang kekasih yang menjadi korban ledakan. Cinta kalian akan menyucikan dunia dan secara khusus kepada seseorang yang ada di dalam hatiku
6
2015-12-27
{Basis Terakhir}
Kisah telah dimulai dari Kranggan dan berakhir pada sebuah pendiangan jiwa; klasik dan permanen. Tentang kerinduan-kerinduan lama juga. Basis terakhir yang dicari oleh manusia ternyata bukanlah Tembok Ratapan Yerusalem maupun resor di Sharm El Sheikh Mesir.
Apa mau dikata, biara di atas bukit sudah menjelma menjadi koloni penyumbang devisa pada kerajaan kemewahan. Tidak ada jaminan bagi manusia bisa menemui tuhannya di sana lagi. Tuhan saja tidak bisa menembus dinding kemewahan apalagi hati umat manusia. Tidak ada pilihan selain hanya bergantung kepada yang di atas.
Basis terakhir itu ternyata tidak jauh-jauh. Tidak perlu mengelindingkan roda ribuan mil dan menghabiskan banyak uang karena ia sangat dekat. Hati yang damai dan tenang adalah basis terakhir pertahanan manusia menghadapi kondisi-kondisi ‘super’ tetapi mengapa manusia selalu mencarinya kemana-mana?
Pertanyaan itu juga hadir menghiasi enam hari perjalananku mencundangi kesendirian. Berawal dari Kranggan, makin menanjak ke Bukit Lelaki Pohon dan terus menanjak ke tempat yang paling tinggi di Wonosobo, kemudian mulai menurun ke Purwokerto lalu Cilacap dan Jeruk Legi—gunung dan lautan tanpa sengaja terhubung dalam perjalananku namun adakah hikmah yang bisa dipetik?
Ini kisah perjalananku yang terakhir. Setelah dua malam menginap di Cilacap merayakan Natal bersama Kongregasi OMI, di Pastoran St. Stefanus Cilacap, walau ada keraguan untuk pulang ke Temanggung karena di rumah tidak ada siapa-siapa namun hasrat terbesar segera pulang. Tidak baik juga aku terlalu berlama-lama di sana. Kalau anakku menjadi alasan pulang tidak ada maka radarkulah yang memberi petunjuk agar segera pulang.
Sabtu dini hari menjelang kepulanganku dari Cilacap. Pukul 01.10 aku sudah tiba di shuttle minibus. Suasana sepi sekali. Tidak ada penumpang lain. Kulihat seorang supir yang sedang kelelahan terlelap begitu saja. Berbantal semen yang keras. Perut buncitnya yang menyembul keluar dari kausnya yang sempit dan lusuh menyatakan dengan jelas apa yang diperjuangkan orang-orang kecil seperti dirinya. Aku sungguh berempati terhadapnya dan menggugat habis pemilik travel itu; apa kurang pantas bagi mereka yang telah menggelindingkan roda perusahaan sehingga pengusahanya bisa tidur enak di hotel berbintang mendapat yang lebih manusiawi?
Pemandangan seperti ini bisa dengan mudah dijumpai kalau memakai moda transportasi umum. Semakin murah semakin tidak ada harganya manusia. Pak Supir mungkin bukan penganut Nasrani namun bagi siapapun yang membaca tulisan ini aku mohon jangan hidupkan lagi kisah seorang pengemis tua yang mati kedinginan pada malam Natal. Berikanlah tempat tidur yang sedikit lebih layak karena istirahat adalah taruhan nyawa mereka...
Kebetulan penumpang hanya diriku sendiri. Kemudian setelah sampai di Buntu daerah Banyumas naik dua penumpang lagi. Sejak itu aku baru berani mencoba memejamkan mata. Kira-kira pukul 05 pagi aku tiba di rumah, setelah berbenah sedikit dan langsung tergolek pulas di kamar anakku. Tiga hari berturut-turut sejak Rabu tubuhku boleh dikata belum beristirahat dengan baik.
Lama sekali aku tertidur dan hampir pukul 2 siang baru terbangun; sejauh apapun aku pergi gelar orang rumahan sudah mendarah daging dalam diriku lalu mengapa aku cari dingin di luar tanyaku tidak mengerti. Apakah perasaanku lebih baik setelah menempuh banyak perjalanan yang melelahkan itu? Kalau kurasa biasa saja, apakah ini bertanda baik atau buruk? Baik karena semakin 'solid' di dalam, buruk karena semakin pintar menyembunyikan perasaan.
Aku mencoba merangkai hakikat enam hari mencundangi 3S: Sepi Sendiri Sunyi. Pengalaman yang aku peroleh di perjalanan adakah menambah pemahaman yang makin memperkuat rongga dada dan memantapkan langkah? Kesimpulanku sedikit mengarah mungkin tidak perlu sampai bercapek-ria merayakan Natal kalau tidak mempertimbangkan pelajaran berharga dari orang-orang kecil yang aku jumpai. Selain oksigen yang kuhirup selalu sama dalam perjalanan juga nanti sebuah ‘ringkasan khusus’ seperti biasa akan terbangun kemudian harus kujadikan ‘ringkasan umum’ dengan mata agak berkaca-kaca. Seperti tahun-tahun lalu. Aku selalu tahu isi hatiku—sesuatu yang mungkin tidak bisa aku gapai.
Sepertinya aku terlalu geger menghadapi kesendirianku. Ketidakhadiran anakku di rumah membuat kesendirianku semakin menyamai wanita tua yang kesepian. Momentum Natal memperparah situasi. Tema-tema keluarga, berkumpul, makan bersama menjadi momok bagi diriku setiap tahun. Kemanapun aku pergi merayakannya selalu tersisip sebentuk harapan yang entah perlu dan tidak perlu lagi menjadi sebuah kenyataan. Hidup terus mendewasakan dan mengeringkan air mata.
Mungkin diriku terlalu menggantungkan kebahagiaan kepada anakku. Habis mau bagaimana lagi karena hanya dialah alasanku yang paling realistis dalam menjalani kehidupan selain cita-citaku untuk orang kecil. Setelah tulisan ini hampir selesai aku bertanya pada diriku, mungkin perlu menantang diriku lepas dari kemelekatan ini, dengan tidak menghubungi anakku dan membiarkannya asyik berlibur sampai ia kembali tahun depan apakah kedengarannya baik untuk kami berdua? Karena menghubungi anakku juga punya perjuangannya sendiri.
Sejujurnya, aku membenci suasana Natal dan tahun baru namun sekaligus menantinya.
Natal dan tahun baru selalu membuatku lebih banyak berpikir kalau tidak mau kukatakan lebih sengsara. Kerinduanku agak konvensional karena menyentuh sisi kerapuhan manusiaku. Kerinduan mendapatkan mobil, gaji meningkat, naik pangkat mungkin tidak perlu seemosional ini kukira. Kerinduan lama itu tiba-tiba bisa hidup lalu tahun baru ia pergi meninggalkanku terengah-engah. Seenaknya ia datang sesukanya ia pergi.
Hati yang tenang adalah basis terakhir, namun romantisme hatiku adalah penghiburan yang selalu bisa kuandalkan pada setiap musim.
PS: Selamat Natal 2015 dan Tahun Baru 2016. Banyak cinta untuk orang-orang yang berjuang dan hidup dalam kesendirian. Berkah Dalem.
Kisah ke-1 sampai ke-5 akan dimuat kalau tidak sebagai sambungan kisah Cerpen Jemput atau akan dijadikan bahan artikel pada tulisan di blog yang bisa ditemukan di beranda situs juga.
5
2015-09-04
{September Biru}
Memasuki bulan September seperti sedang memasuki sebuah gerbang harapan. Banyak rencana dan pekerjaan penting yang harus diselesaikan pada bulan September. September seolah berfungsi sebagai katup pengaman bagi perjuangan manusia modern meraih mimpi-mimpinya. Sebentar lagi Desember—tahun akan berganti—resolusi akan ditulis kembali!
September selalu istimewa. Banyak kejadian penting terjadi pada bulan September dalam hidupku. Perkawinan yang dihapus oleh perkawinan, hadir di dunia, cita-cita yang lahir dari jiwa dan semangat yang diperbarui, buku perdana yang terbit dan cinta yang mengalami metamorfosis. Semuanya melebur dalam doa-doa dan berharap Sindoro memulihkan yang sakit, meluruskan yang bengkok dan menegakkan yang patah. Perkara terus kusimpan dalam hati sehingga dipastikan musim walau berganti akan selalu menyisakan harapan dalam romantika kehidupan anak manusia. Lewat kisi-kisi kenyataan dan rencana.
Hujan juga belumlah turun di Temanggung walau angin telah kembali ke gunung. Malam kepulanganku dari Jakarta juga kurasa tidak begitu dingin namun tiba-tiba aku ingin menonton sebuah film. Jarang aku temukan film yang benar-benar menyentuh kalbu, film Southpaw (Si Kidal) dengan bintang JAKE GYLLENHAAL telah mengambil perhatianku hingga dini hari. Peran JAKE GYLLENHAAL sungguh sangat memukau dan mampu menempatkanku pada gelombang 'gamma'; suatu kondisi kontemplatif yang selalu kubutuhkan untuk senantiasa bertemu diri yang sunyi.
Sejak nonton aku sudah tidak tahan lagi, ingin segera merangkai kata menjadi kalimat, letupan-letupan gerakan jiwa rasanya mau meledak keluar semua. Huruf-huruf menjadi begitu mudah melayang membangun sebuah makna. Begitu banyak yang akan terungkap lewat tulisan karena Southpaw.
Aku pikirkan lagi, tentang pilihan sulit yang selalu kuambil dalam memperjuangkan cita-cita sementara ada peran pokok sebagai ibu dari anakku. Tentang trip kali ini: Aku terpaksa meninggalkan anakku dengan kondisi beberapa hari ia harus tinggal sendiri di rumah dan mengurus dirinya sendiri tanpa ada orang dewasa mendampingi. Mbak Sum yang bekerja di rumah kami, tempat aku biasa meminta tolong kebetulan sedang ada urusan penting. Tetangga juga belum tentu mau direpotkan sementara keluarga besarku semua di Jakarta.
Segala sesuatu memang telah kupastikan beres sebelum berangkat ke Jakarta seperti urusan makan dan dukungan lain namun dalam hati kecilku selalu tahu ini tidak adil untuknya. Kakakku orang pertama melayangkan gugatan yang sangat menusuk hati, "Heran, kok ada ibu seperti elu! Anak sekecil itu, kok relaaa.. lu tinggalin sendirian di rumah?" katanya dengan keheranan tentang cara berpikirku. Empat malam menginap di rumahnya empat malam mendapat pendidikan menjadi seorang ibu. Kakakku mewarisi turunan klasik ibu kami, mengambil dedikasi ibu tradisional sedangkan aku telah terlumur filsafat cita-cita universal.
Sejak mengembangkan pemahaman cita-cita universal bahwa seorang ibu hanya mendapat kesempatan dari semesta untuk mendidik dan membimbing anak-anak dunia, kemudian mengembalikannya kepada semesta dan membiarkan 'lumpur' menjadi ibu kehidupan mereka, maka secara perlahan hidup aku arahkan bukan milik anakku lagi dalam konteks perjuangan cita-cita dan kepentingan yang jauh lebih luas. Membangun sesuatu tidak perlu menunggu menjadi seorang presiden aku kira atau menjadi tokoh yang terkenal namun justru dari situlah, cita-cita yang kubangun sangat menohok karena banyak keterbatasan yang sengaja aku pilih dan ia, anakku ada dalam perjuangan yang ia tidak mengerti. Hidup di Temanggung satu sisi mengamputasi banyak kesempatan 'manusia modern' untuk meraih masa depan dan satu sisi mengembangkan identitas dan jati diri yang lebih luhur.
Kakakku dan Southpaw mengingatkanku bahwa sudah terlalu banyak anakku berkorban demi cita-cita yang aku kejar. JAKE GYLLENHAAL dalam Southpaw memberitahu ia harus kembali meraih hidupnya sebagai petinju profesional demi mendapatkan kembali hak asuh anaknya yang diambilalih negara karena keterpurukannya akibat kehilangan istri tercintanya. Aku kadang berpikir untung masih tinggal di Indonesia, kalau tidak sudah berapa kali akan dipanggil pengadilan karena lalai memberikan yang terbaik pada anakku.
Aku selalu mengatakan kepada diriku; aku leader dari gerakan yang kubangun. Seorang leader sudah seharusnya berada pada garis terdepan untuk meletakkan sebuah legacy. Ada masa sulit di antara itu yang membuatku harus memilih dan pilihannya sering kali jatuh pada kepentingan cita-cita. Aku selalu merasa kurang membelanya.
Kurasa hidup bukanlah sebuah video tape yang bisa dibolak-balik. Kami tidak mungkin kembali menggapai hidup yang sudah ditinggalkan, misal seperti ide anakku agar aku bisnis kembali sehingga bisa lebih bebas memakai uang komersil yang dihasilkan untuk menunjang kehidupan kami. Ide anakku sebagaimana ide anak-anak lain yang ingin mempunyai 'kehidupan umum' dengan rencana-rencana membeli mobil, membeli rumah, jalan-jalan ke luar negeri, dan mau ini itu dapat dengan mudah diperoleh. Aku kira anakku sebagian dirinya mungkin masih berharap kelak kami menjadi orang kaya raya dari hasil penjualan bukuku. Ini renungan anak manusia modern sebagai korban generasi kapitalisasi atau renungan seorang ibu?
Perjuangan cita-cita yang aku bangun memberi konsekuensi besar yang terus menjadi perenunganku sebagai ibu dan sekaligus kepala keluarga. Aku kira sepanjang hayat akan kurenungi. Aku hanya bisa memberi perimbangan kepadanya sebagai penghormatanku atas pengorbanannya.
Berharap semesta memberi jalan keluar yang terang benderang ketika anakku mengalami jalan buntu kelak ia mengarungi kehidupannya dan hendaknya kendala yang ia alami itu janganlah batu tetapi kerikil saja cukup!
Juga, tepat seperti di atas ring Southpaw ia harus berkembang, jatuh lalu bangkit, dipuja, ditinggalkan dan bersinar kembali. Dari darah oleh darah dan demi darah.
Sumber animasi: http://i687.photobucket.com/albums/vv236/Ran87dle
4
2015-04-23
{Kaki Telanjang}
Hujan lagi. Ketika kukatakan hujan lagi bukan berarti air mata jatuh lagi. Nuansa sudah tidak suram walau langit sering mendung. Hujan dulu kuhujat hujan kini lebih dari kekasih hati.
Kaki-kaki telanjang kulihat beredar dalam kopata. Sepasang kaki mungil akhirnya turun di sebuah gang menanjak dan segera membesarkan payungnya. Hujan yang sedang sangat deras-derasnya tidak peduli dengan pakaiannya yang mulai basah. Ia segera menyembunyikan ranselnya dalam dekapan dadanya yang kurus—sebuah masa depan harus ia bela.
Garis-garis air hujan yang jatuh di kaca kopata kurasakan begitu kudus, secepatnya terbentuk lembaran namun tetap mampu menyentuh setetes demi setetes. Terpikirlah aku akan cita-cita irigasi. Hmn, seandainya bisa menangkap hujan dan memindahkannya ke atas gunung maka pada musim kemarau mereka tidak perlu merenung lagi.
Hujan lalu membelokkan anganku. Aku segera turun di pertigaan Telkom. Menjemput anakku di sekolah. Setelah hampir satu jam ia menunggu hujan tak kunjung reda. Hati ibuku tak tega dan segera menyusulnya. Hari ini sudah tiga kali aku ke sekolahnya, yang kedua mengantarkan lembaran tugas yang ia lupa bawa. Kukira ia meringkuk kedinginan dan komat-kamit, ternyata ia asyik sekali bermain air bersama kawan-kawannya.
Hujan masih terus membasahi bumi Temanggung dan halilintar sesekali berkoar. Di bukit paling jauh bisa kulempar mataku, saat kami sedang dalam perjalanan pulang kupandang Sindoro Sumbing dalam angan bermandikan rahmat. Banyak pasang kaki telanjang berjejer dalam kopata kembali, kali ini kaki tersebut semuanya milik anak lanang.
Pada jalan turunan itu lagi. Sebuah mutiara kutemukan saat kami masih 500 meter dari rumah. Sebentar lagi era kepolosannya akan berbaur dalam gairah yang ingin diraih. Katanya ia ingin jadi seorang penemu dan tiba-tiba ia sudah berlari membawa payungnya menggapai pagar rumah. Baru tersadar, di rumah kami ada sepasang kaki telanjang yang adalah kaki anakku sendiri.
Sementara di tanganku penuh barang-barangnya. Sejak kepolosanku lepas, hujan mengalami kesulitan menjamah, barang-barang dan tubuh yang basah adalah beban, padahal dulu pernah dibuat begitu gembira saat mencuri jambu air bersama kakak-kakakku dikala hujan. Kami pergi berempat membawa plastik besar. Kakakku yang memanjat dan melempar dari atas. Jambu hasil curian kami makan sampai habis di sepanjang jalan, plastik kosong kembali dibawa pulang.
Hujan kemudian menjadi lebih menyengsarakan sejak punya kepentingan ekonomi. Kuliah, karir dan bisnis harus berkembang dan hujan menjadi unsur penghambat cukup besar kurasa saat itu. Rasanya suasana hati jadi pecah kalau kena hujan, hujan mampu menjatuhkan percaya diri sampai minus. Sengsara yang paling kurasa dulu saat hujan adalah naik angkutan umum. Ada seorang teman yang naik mobil namun lebih sengsara dariku, bisnis barang elektroniknya terendam hujan semua. Ia bangkrut menunggak hutang besar, sekarang naik motor terus menyimpan luka hujan.
Suasana hujan di Temanggung kuyakin akan mampu mendamaikan banyak hati namun tidak demikian dengan Mbak Sum yang membantu keluarga kami. Aku suka mempropagandanya sebagai kontra produktif cita-cita sederhana. Hujan baginya adalah kesusahan. Setiap kali hujan, ia selalu mengeluh, pekerjaannya jadi menumpuk, maklumlah ia rewang 6 rumah. Belum lagi jas hujan superman-nya yang sering membuatnya gerah saat naik motor wira wiri.
Kami pun sampai tanpa ada hujatan hujan dari mulut anakku namun baru malam kukatakan kepadanya bahwa ada saatnya melepas sesuatu agar bisa menemukan sesuatu, seperti hujan yang sering dialami begitu sulit menerimanya namn harus diterima sebagai anugerah suatu hari.. Lalu dia bilang mungkin perlu mengalami kekeringan baru bisa menerima hujan dengan happy, terus dia bilang lagi betapa salju itu hebat!
Transformasi pikiran harus pertama kali terjadi baru kemudian mental berkembang pesat.
3
2015-02-28
KISAH PULANG DARI JAVAPLANT
Selo
Menjalani hidup diumpamakan seperti menyusuri pegunungan. Suasana gelap, sepi dan sendirian adalah hakikat perjalanan hidup yang sebenarnya. Mungkin ada yang merasa perlu ke 'diskotik', berjoget-joget sebentar atau sekedar kongkow di kedai kopi dengan sohib setelah itu penat terlepas dan diri merasa lebih baik. Namun untuk bisa kembali ke kumpulan cahaya spiritual Sang Khalik tidak ada jalan alternatif selain harus menyusuri pegunungan. Gelap. Sepi. Sendiri. Pemikiran ini pasti ditentang penganut paham "muda senang-senang, tua kaya raya mati masuk surga".
Satu lagi. Perempuan. Mungkin karena aku perempuan, kisah pulang dari Javaplant, G. Lawu Karangpandan Solo lewat Selo menjadi sangat menyentuh. Pengalaman yang berarti biasanya hanya terjadi satu kali dan jarang terulang dengan fragmen yang sama. Maka Selo hadir di dinding ini, tidak untuk memisahkan seperti ia memisahkan Merapi-Merbabu tetapi untuk menyatukan kerinduan manusia.
Saat-saat diapit Merapi Merbabu di Selo, ke-perempuanan-ku mengadu kepada malam agar jurang yang tertutup olehnya tidak menipuku dan memanjat doa kabut tidak menutup mataku.
Amboi, ya amboi! Padahal, jurang, kelokan tajam Selo bak ekor naga yang begitu memukau jika disusuri subuh hari. Ketika mega memimpin, kemampuan manusia menjadi sama, namun supir wanita tetap sulit ditemui. Berkendara di hutan pada malam hari sangat judi bagi siapapun, bagi perempuan seperti mencari jalan matinya. Orang-orang yang kutanya pas di jalan dengan keraguannya seperti ingin mengatakan,"Mau cari mati?" Untung-untungan, bila ada sinar rembulan gelisah sedikit terbasuh oleh romantismenya namun ketegangan terus ada hingga sampai di persimpangan penuh cahaya lampu. Titik-titik cahaya lampu rumah yang menenangkan adalah lambang manusia butuh yang pasti. Terombang-ambing 'akankah selamat' 'akankah lulus' 'akankah deal' 'akankah cinta diterima' adalah perasaan yang sangat menyiksa namun tak bisa dihindar.
Perjalananku saat pulang dari Javaplant, langit sangatlah bermuram durja. Jalan rusak parah sekali, jembatan amblas tidak karuan. Beberapa kali rodaku slip tepat di bibir jurang. Aku terus mengadu kepada malam dan akhirnya malam jua mengantarku selamat.
Pengalaman yang berarti biasanya juga jarang direncanakan. Kealamiahan membentuk pengertian menjadi sempurna. Sering kali karena kepolosanlah yang menahkodahi. Lupakah kita kisah lembu lugu yang setiap hari makan dari makanan yang diberi orang yang akan menjual dirinya? Lebih baik mati memberi manfaat daripada menjadi bangkai. Mungkin seperti itu maksud Tuhan agar manusia kembali menjadi polos. Maksudku, aku polos menerima usul Mas Bibit lewat Selo karena katanya akan tiba sebelum malam. Aku sudah pernah ke Selo sekali tetapi belum pernah setir sendiri.
Kira-kira 2 jam sebelum waktu Cinderella habis, aku tiba di rumah dengan batin diperkaya. Diriku dipenuhi ucapan syukur. Kepolosan mengantarku meraih kemampuan alamiah manusia. Refleksi tentang pengertian siang dan malam seperti kemampuan tubuh perempuan dalam terang dan gelap. Bagi perempuan-perempuan yang telah banyak terlepas dari ketakutan malam, semestinya, sisi gelap manusianya tidak tega memanfaatkan tubuhnya lewat 'malam' melukai kehidupan.
2
2015-02-13
EDISI VALENTINE
{bakul dan tutup}
Dunia penemuan tanpa segan sering kali harus melakukan definisi ulang tentang suatu teori yang telah mereka temukan demi kemaslahatan kehidupan manusia.
Seharusnya untuk kebahagiaan kehidupan pribadi lebih dari itu frekuensinya. Rencana dan revisi. Banyak syukur karena banyak moment dalam kalendar Masehi yang mengajak masuk ke dalam perenungan massal, nyepi di Bali, Natal di dunia atau puasa yang panjang bagi umat Muslim, semua itu semestinya sangat cukup membuat kita lebih bahagia setiap tahun.
Manusia akhirnya belajar biologi dan tahu bahwa bagian tubuh yang terkecil adalah sel, susunan kimia terkecilnya atom. Sel membentuk jaringan, jaringan membentuk suatu sistem organ tubuh lalu sel di dalam organ disebut organel, organel satu tidak sama dengan lain. Tentang hormon dan manifestasinya jauh lebih memusingkan kepala, hormon mencari organel target untuk diberi pesan kimiawi lalu mempengaruhi reaksi-reaksi kita. Kimiawi akibat flu kecil saja mampu mengeluarkan perangai buruk yang terpendam. Memahami reaksi-reaksi yang ditimbulkan dari proses kimiawi tubuh membuat diri jauh lebih bijak, intropeksi diri, mencari ke akar masalah mengapa peristiwa tahunan besar kurang gregetnya. Resolusi 2014 terompetnya sudah hancur, balonnya sudah meletus tetapi aplikasinya tidak jelas. Tahun 2015 akan segera menjemput.
Kejadian per kejadian seperti angin datang dan pergi, peristiwa-peristiwa sedih dan kurang beruntung seperti kehilangan orang yang kita cintai, bangkrut, ditipu, dihianati, pekerjaan yang begitu-begitu saja kadang memang memberikan perenungan tersendiri, kedalamannya tergantung sebesar apa penilaian terhadap kejadian tersebut. Peristiwa jatuh bangun juga menghasilkan proses kimiawi lain lagi yang akan menimbulkan reaksi yang jelas berbeda juga.
Jodoh yang tak kunjung mampir bukan saja masalah besar tetapi ruwet sementara umur bertambah terus. Jikalau pria ketakutannya sepuluh kali maka lima puluh kali wanita menyimpan ketakutan. Laki-laki jelas lebih suka yang pucuk-pucuk daripada daun tua yang pamornya cepat luntur; ini masalah kimia lagi. Kalau wanita suka jutek dan bawaannya sensi mulu, pria jadi sakit kepala karena ada yang macet. Lalu mencari-cari kompensasi.
Kompensasi adalah sesuatu yang berada di luar diri, yang paling bisa kita kendali adalah yang paling parah menderita kena dampak ketidakstabilan diri.
Tanpa kita sadari hormon dalam tubuh yang hebat menggoda genital bisa memporakporandakan realitas, setiap orang yang ditemui dianggap jodoh. Yang mematok "pokoke harus kawin" suka asal nyomot seperti si Mang Momot mencabik paha ayam untuk dagangan buburnya yang terambil brutusnya.
Bukan sebaiknya namun harus dijadikan agenda utama, mumpung hari Valentine. Tentang sebuah lompatan! Angkat kopermu sekarang dan pergi ke suatu tempat yang belum pernah didatangi. Mengunjungi tukang pembuat kerupuk melingkar-lingkar yang mahfum dilihat tetapi tidak pernah tahu cara pembuatannya, mengunjungi kawan jauh atau bicara dengan pembuat ‘tire’ di Munduk dan bermalam di Don Biyu suatu tempat banyak cinta di Bali mungkin akan memberi perspektif berbeda.
Tetapi berani kukatakan bahwa jodoh itu seperti inspirasi, ia akan datang ke tempat anugerah bisa mendarat. Kalau kau menemukan seseorang di diskotik ada dua kemungkinan; pertama kau akan kawin, bertahan walau perkawinan seperti robot dan yang kedua kau tetap kawin namun tak lama bercerai karena ini hasil mencomot, dia bukan orang yang kau ingini ternyata. Namun, bila kau pergi ke tempat kau bisa berkontemplasi dengan dirimu bisa saja jodohnya masih belum ketemu tetapi kau telah menemukan dirimu bahagia tanpa siapapun di sisimu.
"Inspirasi itu prototipe jodohmu".
Kadang lewat jalan inspirasi terlebih dahulu agar jodoh yang tepat mau hadir. Di dalam inspirasi mengandung muatan roh semesta yang suci dan inspirasi-inspirasi seperti itu hanya bisa ditemui di tempat sunyi tempat kau bisa menemukan kedalaman hatimu sendiri. Mengenal wadahmu dengan benar. Kalau bakulmu persegi carilah tutup persegi. Cerita pendeknya seperti nasihat orang tua jika mau dapat jodoh tepat carilah di tempat yang tepat.
1
2014-01-08
{biasa}
Sum mengatakan ia sangat heran ada orang seperti diriku yang masih berharap akan memiliki sebuah tungku api kayu seperti miliknya sementara ia mendambakan sebuah kompor gas seperti milikku. "Capek Bu membersihkannya, dapur hitam semua," keluh Sum kepadaku.
Tungku api kayu selalu menyimpan banyak kisah yang membangunkan jiwa dibandingkan kompor gas merek pabrik. Bayangi setelah kau harus mencari ranting-ranting kayu harus yang sudah tak berguna di tengah hutan atau membelinya dengan susah payah karena zaman sudah berubah kemudian apinya harus kau jaga lagi karena api dari alam tidak punya alat kendali. Kendali ada di tanganmu semua.
Kita selalu takjub dengan hal-hal sederhana atas kemampuannya menyentuh. Mereka bersifat adiluhung karena banyak perjuangan terbentuk di sana. Hati manusia selalu membutuhkan kisah heroik seorang anak manusia lain untuk bertahan. Kalau tak percaya cobalah sekali-kali ke gunung atau ke pedalaman bukit-bukit dan temuilah penduduk yang berjerih payah memikul kayu bakar di pundaknya, biasanya ia pungut satu per satu di jalan tak bernama. Dan jangan bilang kepadaku kalau setelah pulang kau akan bertanya ulang kepada dirimu apa yang sebenarnya kucari dalam hidup?
Kesederhanaan pasti suatu hari akan dikejar oleh umat manusia yang mendambakan hidup yang lebih bermakna dan kemudian menjadi biasa karena sudah menemukan cukup adalah cukup.
Comments