Barang
Aku pernah ditanya seseorang apa sebenarnya yang kucari sehingga ‘kok’ mau menyusahkan diri di Temanggung? Sudah tak ada sanak keluarga apa-apa juga tak punya katanya lagi.
Dia komentar begitu karena sudah sering melihatku jalan kaki kemana-mana. Opps! Kalau-kalau ia pernah memergoki diriku ‘gentayangan’ di malam hari. Ceritanya, kami lumayan sering jalan kaki malam hari saat anakku belajar ‘Komuni Pertama’ selama 6 bulan. Maklumlah, ini Temanggung, kota kecil yang tak bisa lepas dari bayangan desa. Kalau pukul 8.00 malam semua telah meringkuk di bawah selimut, bagaimana mungkin angkot bertahan sampai pukul 5 sore?
“Coba perhatikan foto acara gunung ini?” tanyaku kepadanya lagi sambil menyodorkan tabletku di dekatnya, “Dapatkah kau temukan seseorang yang gembira mengalir dari ‘mata sungai’ di antara mereka?” Dia terdiam karena tahu jawabannya.
Setiap orang mempunyai tahapan masing-masing dalam hidup. Tahapanku telah sampai di titik cukup adalah cukup. Barang-barang bagiku kini sudah sangat memuakkan. Aku sering menyebut barang-barang itu seperti mainan anak-anak yang suka gerak-gerak sendiri kalau siang hari dan kalau malam hari tegang tidak kejuntrungan.
Aku tidak mau berada dalam lingkaran relasi dengan barang-barang. Itu poinnya!
Ketika pun mampu mengatur barang-barang yang dimiliki, sebenarnya baranglah yang mengatur manusia. Tidak percaya? Coba biarkan barangmu tergeletak sembarangan dimana-mana maka saat kau butuh kepalamu akan dibuat pecah. Persahabatan, perkawinan, bisnis bisa bubar loh gara-gara sebuah baut kecil yang tidak ditemukan.
Mungkin ada yang masih ingat buku perdanaku Trilogi Hidup Sederhana, di buku aku mengatakan bahwa sebuah barang masih terdiri dari barang. Sekrup, charger, kabel, batere, casing dan lain-lain adalah barang-barang dari sebuah barang ponsel bukan? Semakin besar barangnya semakin banyak barang di dalamnya yang akan meminta perhatianmu. Mereka sungguh-sunguh tidak punya otak karena tahunya mengklaim perhatian tanpa peduli situasimu. Kebutuhanmu akan menggerakan perhatianmu kepada barang namun dari keinginanlah berawal bencana karena kau tak mungkin memenuhi semua keinginan barang.
Namun sialnya, akhirnya ia tahu juga—apapun Giharu tak punya. Suatu hari ia datang ke rumah, mengirim kasur. Ia memaksa kasur diterima karena kasihan kami tidur berpelukan setiap malam. Seorang kenalan Jakarta tiba-tiba datang dan tinggal beberapa waktu bersama kami untuk suatu alasan pribadi. Dalam hati kupikir, “Mampus aku ada satu lagi yang minta perhatian!”
Aku harap ia juga pernah melihatku menyetir mobil walau ‘nyewa’, demi memberi perimbangan bahwa apa yang aku lakukan karena kebebasan manusia yang telah naik kelas. Sebuah kebebasan yang dapat dipertanggungjawabkan dunia akhirat.
Oh, ya! Ia lupa aku masih ada sesuatu. Tentu bukan barang. Itu adalah seseorang. Anakku adalah harta yang paling berharga.
PENTING! SEMUA INFORMASI SITUS DILINDUNGI UU. PELAJARI SYARAT & KETENTUAN PEMAKAIAN
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.