Christ John
530 Halaman, Seri Pencerahan Hidup Sederhana
Pada saat liburan sekolah, aku menemani anakku ke Jakarta, sudah setahun ia tak bertemu ayahnya. Selain mengurus buku dan bertemu beberapa teman lama, aku juga diundang ke kantor relawan salah satu kandidat presiden di Menteng. Saat itu sedang musim Pilpres.
Seharusnya aku menulis di catatan dinding betapa beruntungnya telah diundang, karena Bapak Jusuf Kalla dan beberapa orang terkenal kebetulan datang berkunjung ke kantor tersebut. Singkat cerita aku bertemu Pak Jusuf Kalla dan seumur-umur sekali itu bertemu dengan beliau. Maklumlah aku ini wong gunung.
Usai rapat di kantor relawan itu, teman-teman berebutan foto dengan calon R-2 Indonesia dan meninggalkanku sendiri di pojok berlawanan. Aku sebenarnya malas berfoto ria, lama-lama kulihat hanya diriku satu-satunya yang duduk tersenyum-senyum dengan fenomena yang cukup lama. Mungkin aku jadi kikuk karena suasana sangat kontras, akhirnya dengan terpaksa kuminta teman yang mengundang mengambil fotoku bersama beliau. Jepret! Aku pun pulang.
Aku sudah tahu ini bukan kebiasaanku, bahkan sampai menulis kisah ini pun, foto itu tidak pernah kulihat dan apa betul sudah terambil sempurna aku juga tidak peduli. Peristiwa dengan reaksi ini juga pernah kualami ketika entah bagaimana lagi meminta seseorang mengambil fotoku dengan seorang kontributor bukuku yang sangat terkenal.
Sejak lama aku selalu bertanya mengapa orang suka memajang foto dengan orang-orang terkenal? Di bisnis lebih-lebih lagi. Kuingat kolegaku sangat bangga dan selalu cerita dengan menunjuk fotonya bersama Bill Gates di kantornya. Ada kawan yang cukup memasang foto bersama Christ John di dinding mayanya.
Kukira pandangan ini sudah diwariskan sejak zaman kolonial, yang saat itu hubungan interpersonal dengan pejabat keresidenan sangat menentukan status seseorang.
Cara pandang seperti itu apa masih relevan dengan abad penerimaan begitu lebar bahwa semua individu unik dan mempunyai potensi yang sama. Semua orang bisa terkoneksi dengan mudah lewat teknologi? Menurutku memajang foto yang bersifat personal akan lebih menaikkan mutu sebagai seorang pribadi.
Beberapa menteri dalam foto itu sudah almarhum, kolegaku kudengar juga sudah menyusul. Lalu kupikir lagi, siapa mengenang siapa sekarang?
Wajan Urip
519 Hal, Seri Pencerahan Hidup Sederhana, B. Indonesia
Aku masih ingat sekali, suatu malam setelah pulang kerja, ibuku banyak cerita tentang barang-barang bekas dagangannya yang akan ia bagi-bagi kepada anak-anaknya. Ibuku dengan bangga menceritakan pengocok telurnya yang bermerek abadi yang ia miliki tiga buah. Salah satu kaki pengocoknya sudah patah namun tetap ia pertahankan, panci presto yang ia beli dengan susah payah dengan sistim kredit tak lupa ia sampaikan bagaimana panci itu telah banyak jasanya saat ia menanak kacang untuk isi kue khu.
Beberapa ember somplak yang menurutku sangat layak dijadikan sampah. Selain itu, ibuku memang sangat fokus dengan benda-benda material logam. Menurutnya logam-logam zaman dulu lebih tahan api dibandingkan logam sekarang.
Ibuku tentu tidak mempunyai harta yang bisa ia wariskan kepada anak-anaknya maka sebuah wajan hitam, kompor besi bundar yang seperti dimiliki penjual nasi goreng selalu ia pesan agar jangan sampai hilang. “Itu besi tua! Ada uang pun kau tak mampu mendapatkannya lagi,” kata ibuku.
Akhirnya wajan hitam anti karat diberikan kepada kakakku. Wajan aluminium untukku. Aku saat itu tentu sangat mampu membeli sebuah kulkas apalagi hanya wajan aluminium. Saat itu sikapku seperti anak muda kota yang agak meremehkan warisan ‘remeh-temeh’ seperti itu.
Aku memang turunan ibuku, ibuku suka masak demikian juga aku. Wajan aluminium ibuku memang yang terbaik setelah kucoba dan terus kupakai di Temanggung namun aku butuh wajan anti lengket seperti wajan hitam itu. Setelah mencoba berbagai merek wajan anti lengket yang harganya sudah melebih sebuah kulkas tetap saja aku tidak bisa mendapatkan feel memasak seperti karisma ibuku.
Sepatu Bola
400 Hal, Seri Pencerahan Hidup Sederhana, B. Indonesia
Kebanggaan seorang anak terletak pada sepatunya. Tika memamerkan sepatu yang baru ia peroleh dari kedua orang tuanya, Tommy betapa bangganya ketika sepasang sepatu baru ia peroleh sebagai hadiah ulang tahunnya. Lain lagi dengan Mahmud yang ngambek tidak mau sekolah karena sepatu yang dijanjikan ayahnya tak kunjung dibeli.
Tahukah kau bahwa sepatu adalah harga diri seorang anak. Dulu waktu kecil kau di antara akan berbicara atau berjalan dulu. Orang tuamu dan orang tua manapun biasanya akan lebih heboh kalau anaknya sudah bisa berjalan. Sebuah baby walker pun dibeli untuk membantu perkembangan motorik kasar
Kalau kau sudah bisa bicara namun isi bicaramu masih perlu banyak pembelajaran agar berbobot maka pelajaran ini mungkin masih seperti belajar berjalan. Karena kau mulai dewasa maka belajar berjalanmu akan disebut melangkah. Dunia yang kau pikirkan dan ingin kau ucapkan dalam mimpi-mimpi akan tercetak dengan berapa jauh kau sepakkan langkahmu di atas permukaan bumi.
Dunia ini begitu banyak hal yang tak kita ketahui, yang berbeda dari kita dan sepatu adalah hadiah terindah yang bisa membuatmu melangkah melihat belahan dunia yang lain.
Kemudian sampailah kepada Kisah Evan Dimas, skuat Timnas U-19, berkat sepatu bolanya yang berharga Rp 20,000, ia bisa melanglang buana.
Comments