Kontroversi Jilbab
Pemaksaan dalam bentuk apapun apalagi yang dilakukan terus menerus, secara masif dan terstruktur sudah bisa kita kategorikan mempunyai tujuan politis. Tujuan politis yang dibangun untuk kepentingan sebuah kelompok dengan sendirinya telah mempersempit dan berpotensi mengancam eksistensi kelompok lain, sehingga hal ini sangat perlu diperhatikan oleh negara karena akan membahayakan keutuhan bangsa yang berdasarkan ideologi Pancasila.
Kegiatan mewajibkan anak-anak putri memakai jilbab di sekolah negeri itu lebih tercium merupakan manuver yang dimainkan oleh sebuah kelompok yang terafiliasi dengan sebuah partai Islam yang kesetanan dalam beragama. Terkait ‘kewajiban memakai jilbab’ di sekolah negeri baik yang secara terang-terangan dan terselubung dilakukan maka sudah saatnya pemerintah mengambil sikap lebih serius karena yang terjadi sudah melanggar UU.
Kalau negara ini berdasarkan UU maka sebagian besar sekolah negeri yang ‘mewajibkan’ murid perempuan memakai jilbab dari tingkat KB sampai SMA telah bertindak melanggar UU.
Ketika seorang guru hanya berkata kepada muridnya mengapa kamu tidak pakai jilbab, kamu muslim bukan maka hal ini telah mengandung unsur tekanan apalagi ia berani mengatakan di sekolah ini wajib pakai jilbab, yang tidak setuju silakan keluar maka hal ini sudah bisa masuk ke perkara hukum; pihak sekolah atau guru telah mengingkari fungsi dirinya sebagai pendidik! Kegiatan ini telah menyuburkan superioritas guru yang tidak sehat dalam proses ajar. Karena setiap tekanan adalah penindasan, adalah ancaman kepada murid yang tidak mau mengikuti, seperti dikucilkan, diejek, dipersulit, dihambat hingga tidak naik kelas.
Mewajibkan murid memakai jilbab secara halus sampai terang-terangan di atas fasilitas negara yang tidak diperintahkan UU adalah “praktik curang”. Bagaimana mengajarkan murid jujur kalau guru curang aku bertanya. Dalam pandangan umum, justru kontra produktif dari maksud syiar agama dan ejawantah iman itu sendiri. Bagaimana memaknai sesuatu yang berasal dari Tuhan kalau justru sifat ‘agresor’ yang tertangkap oleh publik? Jangan tambah lagi fobia Islam di atas resistensi yang belum tersembuhkan, hal itu justru akan semakin merugikan Islam secara keseluruhan. Kelompok Islam moderat juga sudah bersuara, aktivis pendidikan juga sudah banyak mengkritik agar anak-anak diberi ruang untuk mengambil keputusan agar mereka belajar bertanggung jawab.
Sudah lama aku ingin menulis tentang fenomena memakai jilbab di sekolah negeri dari sudut pandang UU dan umum. Tulisanku ini bertepatan dengan tahun ajaran baru 2018 yang baru seminggu ini berlangsung di seluruh nusantara. Kontroversi jilbab tetap menyedot perhatian umum dan kembali diperdebatkan di dinding-dinding maya; hal ini menunggu sikap pemerintah khususnya dari Menteri Pendidikan, Bapak Muhadjir Effendy.
Pihak sekolah sangat paham sekali bahwa sekolah negeri adalah milik pemerintah, bahwa sudah ada Permendikbud No 45 tahun 2014 yang mengatur pakaian seragam di sekolah, tetapi mengapa sekolah berani sekali melanggar UU?; Kegiatan ini tidak bisa tidak dikaitkan dengan gerakan Tarbiyah pada tahun 1980 dimana jilbab menjadi salah salah satu perjuangan gerakan tersebut yang akhirnya melahirkan PK yang kelak menjadi Pekaes. Baca juga: Jilbab & Pekaes.
Pemerintah perlu segera mengambil sikap terhadap aktivitas sekolah mewajibkan pakai jilbab karena:
I. Bertentangan dengan Permendikbud No 45 tahun 2014 Bab I Pasal 1 ayat 4 yang berbunyi “pakaian seragam khas muslimah adalah pakaian seragam yang dikenakan oleh peserta didik muslimah karena keyakinan pribadinya“.
Penjelasan:
- Dengan MEWAJIBKAN (dari halus sampai kasar) pihak sekolah telah memakai otoritasnya untuk menekan bukan untuk mencerdaskan.
- Kecerdasan rohani seorang murid harus juga menjadi konsentrasi pihak sekolah dan bangsa. Untuk memahami apa itu kecerdasan rohani dengan bertanya apakah kerohanian kita sudah mengalahkan sifat kepurbaan kita?
- Telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia, sekolah telah mengamputasi kebebasan murid memenuhi keyakinan pribadinya sehingga sekolah bukan lagi menjadi tempat dimana ‘pilihan baik’ bisa dipilih karena bantuan proses pendalaman atau pengolahan iman tidak bisa diperoleh sebaliknya mendapat ‘paksaan dan tekanan’.
II. Bertentangan dengan Permendikbud No 45 tahun 2014, UU Bab II Pasal 2 bagian (a) berbunyi “tentang tujuan seragam diadakan yaitu menanamkan dan menumbuhkan rasa nasionalisme, kebersamaan, serta memperkuat persaudaraan sehingga dapat menumbuhkan semangat kesatuan dan persatuan di kalangan peserta didik” dan bagian (b) “untuk meningkatkan rasa kesetaraan.”
Penjelasan:
- Sangat jelas dan nyata bahwa telah terjadi pengotak-ngotakan secara masif. Hal ini menimbulkan kegelisahan kehidupan bersama tidak bisa terbangun dengan baik di sekolah maupun pasca sekolah. Aktivitas ini secara terang-terangan melanggar dan tidak memenuhi tujuan seragam diberlakukan seperti yang diharapkan pemerintah.
- Telah merobek kebersamaan dan kepolosan anak-anak, tidak menimbulkan kesetaraan sehingga berpotensi rasa nasionalisme tidak bisa tumbuh karena prosesnya sudah cacat.
- Terminologi dan implikasi “kewajiban” (halus sampai terang-terangan) mengandung konsekuensi liar atas penggunaan otoritas. Akan terjadi ‘improvisasi iman’ dari pihak-pihak yang merasa diri paling suci, paling benar dan kebetulan punya otoritas di sekolah atau di dinas pendidikan. Apa yang akan ditanggung oleh siswa tidak bisa diprediksi. Ini telah dan akan terus melahirkan sekat-sekat baru yang telah menjurus pembatasan kebebasan dan mengganggu proses penyelenggaraan ajar-mengajar secara murni, langsung dan tidak langsung. Sudah banyak kasus beredar seperti sekolah seenaknya memaksa murid non Muslim memakai jilbab atau pindah dari sekolah, anak laki-laki dilarang bermain dengan anak perempuan, ruang makan laki-laki dipisahkan dengan perempuan, kegiatan sholat Dhuha wajib dilaksanakan dan masih banyak seabrek peraturan lain yang berasal dari ‘improvisasi iman’ pribadi tadi yang harus diterima sebagai konsekuensi murid bersekolah di sana.
- Anak didik yang membangkang akan menerima akibat yang tidak sedikit dari dikucilkan guru dan teman, mendapat nilai tidak adil, dipersulit dan sampai tidak naik kelas. Korban juga berasal dari pelajar Muslim dan non Muslim.
III. Dengan melihat kecenderungan yang terjadi akhir-akhir ini karena membahayakan integritas bangsa, Pemerintah perlu mengembalikan tujuan pendidikan di sekolah negeri sesuai dengan amanah UUD. Sekolah telah dipakai sebagai tempat untuk menyemai perpecahan dan menjadi ladang penyebaran ideologi ‘suatu kelompok’.
Penjelasan:
- Sekolah negeri harus mencerminkan kepentingan negara karena negara ini dibangun dari usaha bersama. Kepentingan negara adalah menyelenggarakan kepentingan hidup bersama dimana untuk semua warganya tanpa membeda-bedakan agama, ras dan suku serta warna kulit dapat bebas mengekspresikan diri termasuk keyakinan dan kepercayaannya. Dengan memberlakukan kewajiban memakai jilbab telah menodai rencana kehidupan bersama yang telah ditetapkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4.
- Melihat sekolah-sekolah negeri dari tingkat KB yang mewajibkan memakai jilbab sudah sangat mengkhawatirkan, kegiatan ini benar-benar fatal karena esensi kebebasan sudah tercerabut sampai ke akar-akarnya.
- Sekolah negeri harus menjadi tempat menyemai keberagaman, memperkuat budaya nusantara demi kelangsungan kehidupan bersama dan bukan untuk tujuan politis yang memakai agama.
- Masalah ini timbul karena ini sekolah negeri! Bukankah pemerintah juga mengizinkan sekolah swasta berbasis agama dan jumlahnya juga sangat banyak sekali. Di sanalah harusnya diperkuat. Mengapa masih memaksakan kehendak pada sekolah negeri?
Aku sering kali mendapat kesan bahwa sifat agresor dalam beragama yang ditonjolkan suatu kelompok lebih karena curiga dan kekhawatiran “masalah jumlah umat” yang sudah tidak relevan dalam dunia berbagi. Baca juga: Politik Angka. Juga masalah pandangan agama harus terlibat dalam politik bernegara, itu menurutku lebih mengarah pada ‘ambisi kekuasaan’ seseorang atau sekelompok dibandingkan menjalankan urusan agamanya.
Dapatkah kita bandingkan bahwa sesuatu yang mengalami proses pendalaman kelak akan memandangnya lebih mulia dibandingkan diperoleh secara dangkal, diperoleh dalam kondisi tertekan dan terpaksa membuatnya jadi kurang bernilai. Jadi, karena mereka mempunyai kepentingan politik-lah maka agama mereka jual sangat murah.
Pasca ‘doktrinisasi’, dikhawatirkan akan melahirkan jiwa-jiwa agresor dalam beragama yang kelak akan merugikan wajah Islam sendiri dan paling nyata ke depan Indonesia akan terus diramaikan hadirnya pengotak-kotakan dalam bidang apa saja dengan label agama. Saat itu agama menjadi lebih kompleks lagi. Setelah agama teraduk-aduk dalam politik dan kemudian terkocok-kocok dalam bisnis, agama mau kemana?
Esensi tulisan ini tidak lain karena aku menangkap seruan yang dilakukan kawan-kawan Muslim bahwa Islam adalah agama Rahmatan Lil ‘Alamin. Jadi aku harap tulisan ini kelak melahirkan sebuah gerakan untuk evaluasi dan mawas diri dan mencari solusi terbaik. Baca juga: Islam Di Mataku.
PENTING! SEMUA INFORMASI SITUS DILINDUNGI UU. LIHAT SYARAT & KETENTUAN PEMAKAIAN
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.