Munduk
Kita mungkin masih ingat sebuah tempat yang pernah kita kunjungi yang membuat rindu untuk kembali. Faktor makanan, alam yang memesona, kisah asmara yang terbentuk atau jodoh yang ditemukan di sana bisa menjadi alasan kedatangan kedua, namun ketika kita datang menjemput kenangan pengunjung baru sudah pulang tanpa membawa pegangan.
Pilihan Lain
Sangat memungkinkan, hal kecil seperti warung makanan di sudut jalan yang sangat kita sukai dulu sudah tidak jualan lagi karena ditinggal mati pemiliknya. Sedikit kecewa tetapi ada juga peristiwa bahagia dari asmara penuh bunga dahulu kini telah tumbuh buah dan tunas baru karena bersatunya cinta. Perubahan naik turun siklus kehidupan manusia yang masih bisa dicermati sangat mudah ditemui dari fisik yang terus berubah. Patung yang terlihat merana dan masih bahagia, candi, kematian juru masak, cinta yang lahir dan yang semua yang fisik-fisik itu awalnya persis seperti cinta yang bersemi, menggebu-gebu ingin segera menyatu. Pada musim gugur yang tak begitu lama baik oleh rezim, regulasi maupun selera yang berubah, perlahan-lahan kehilangan momentum. Manusia sejak berekonomi modern membutuhkan objek lebih dari objek agar tetap bisa eksis sebagai subjek; pusat dari kehidupan-kehidupan.
Manusia terus beranak cucu, kemudian cucunya pada akhir tahun tiba lebih memilih wisata ke Munduk atau ke Indonesia Timur dan melupakan Kuta Bali. Kuta Bali untung masih ramai walau makin ke ujung pantainya telah dipanggil tempat anjing-anjing.
Bisnis Hospitality
Di Kuta Bali ada sekat-sekat pengunjung yang awal mulanya diperkirakan terbentuk secara alamiah namun kemudian diperparah berbagai kepentingan, pengunjung yang ingin menyaksikan sunset ada tempat lebih ‘steril’ namun harus masuk dari sebuah mal baru yang megah. Kalau mau belajar selancar berjalanlah agak menjauh sedikit dari mal itu, lelaki eksotis akan mengejar menjajakan papannya. Pikiran polos kita berubah setelah berjalan agak lama dan melihat hampir semua lelaki eksotis bertingkah menggoyang-goyangkan anunya barulah mengerti oh ternyata mereka sedang menawarkan burungnya. Sebuah segment pasar kuno dengan promosi menggoda bagi wanita kesepian.
Terima tidak terima, makanan minuman, apa yang dilihat, dinikmati, tubuh manusia adalah objek bagi peradaban manusia untuk mengambil tempat paling sempurna. Pada era terkoneksi bebas yang mendekatkan manusia dengan manusia (m to m), manusia dengan jarak (m to d) dan manusia dengan barang (m to g) membuka peluang bisnis sangat luar biasa. Informasi mengalir deras, hubungan interpersonal pun terbentuk bagaikan jamur di musim hujan, kawan tiba-tiba terserak di mana-mana. Bisnis hospitality kemudian berkembang pesat, live in anak sekolah di desa-desa telah berubah menjadi sebuah pangsa pasar yang menggiurkan dan ziarah rohani adalah objek lain bagi manusia menemukan tuhannya.
Penyakit PDB
Pengembangan destinasi pariwisata selalu menjadi alasan penguasa untuk mendongkrak PDB. PDB adalah objek dalam penyelenggaraan pemerintahan dan mungkin sejak saat itu, penghargaan pada kemanusiaan yang mencari kehidupan yang berperirasa sudah terasa sangat komersial. Masyarakat lokal yang tempatnya menjadi objek hanya cukup sebagai penonton, tukang cuci piring dan antar-antar dan jangan kasihan dahulu karena setelah mereka mengerti sistem makan memakan mereka akan segera melakukan hal yang sama kepada kelompok yang lebih lemah lagi.
Destinasi Menemukan Diri
Tujuan orang melancong sebenarnya ingin memecah kepenatan rutinitas dengan mengambil momen yang bersifat on the spot. Makanan, minuman dan aktivitas baru ditantang. Ekspresi-ekspresi ini ada yang natural namun sebagian besar adalah kompensasi dari diri manusia yang sakit mencari perimbangan. Ketika sesuatu sudah sangat komersil secara perlahan akan kehilangan daya sentuhnya, apapun, itu pasti. Komersialisasi adalah penjajahan kemanusiaan lewat ekonomi, penghargaan kemampuan manusia didasarkan dari proses mengambil bukan memberi. Panorama dengan sudut strategis terus diperebutkan, kebiasaaan-kebiasaan hidup ‘budaya’ lokal dikuak untuk dijadikan objek-objek.
Dalam rangka manusia menemukan dirinya, sebuah perjalanan spiritual yang sangat melegakan jiwa-jiwa yang lelah dan letih adalah konsekuensi dari keputusan bahwa ada bagian yang harus memakai sistem buka tutup, tarik ulur seperti main cilukba yang menggemaskan anak kecil. Hidup ini membutuhkan misteri agar selalu dicari daya pemantiknya.
Munduk
Setelah Bedugul akan melewati tempat monyet-monyet di tanjakan. Tempat monyet-monyet ini sangat berbeda dengan tempat anjing-anjing di Kuta Bali karena mereka di sana memang harus ada di sana sedang anjing-anjing karena terdesak. Tempat monyet-monyet hanyalah sebuah tempat perenungan sementara untuk menggapai keindahan kontemplasi setelah perjumpaan tikungan romantis yang akan berakhir di Desa Munduk.
Sebagai pencari permata kehidupan yang ingin selalu kembali, kita berharap Munduk secara terhormat mengambil bagian tugas suci atas kerinduan manusia menemukan dirinya walau Munduk kini diliputi kemacetan, parabola, poster-poster serta kabel wi-fi yang saling berkelindan berbaur dengan tradisi dan kepercayaan yang masih bertahan. Munduk sampai kapan akan bertahan?
Munduk harus bertahan demi dirinya sendiri dan bukan demi wisatawan.
PENTING! INFORMASI SITUS DILINDUNGI UU. PELAJARI SYARAT & KETENTUAN PEMAKAIAN
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.