Judul | Publikasi | Bidang | Ditujukan | Revisi |
Nilai Sebuah Kebebasan | 20 April 15 | Teknologi | FB, Kementerian & Pelaku Bisnis Terkait | 0 |
Nilai Sebuah Kebebasan
Empat tahun silam, tempat tinggal kami di Temanggung hanya ada satu tetangga yang berlangganan internet, kemudian disusul rumahku yang kedua. Anakku saat itu masih belum mengerti kehebatan internet untuk acara main-mainnya walau setahap lagi masuk kategori candu game. Saat itu ia masih suka bermain bersama temannya dekat balai RT pada sore hari, bahkan aku sempat terharu dibuatnya ketika dengar kisah pengalaman pertamanya menangkap capung di sawah. Begitu antusiasnya ia bertutur.
Bagaimanapun, gawai anakku paling terkini dibandingkan kawan-kawannya. Maklumlah, ia bagian dari kota. Sementara aku sampai hari ini terus menyiasati dampak positif negatif gawai-gawainya, ayahnya dari metropolitan sana terus menyuplai.
Satu setengah tahun lalu gawai cerdas dengan layar lebih besar pun mendarat di rumah dan sejak saat itu kawan-kawannya sering datang mencoba gawainya di rumah. Aku melihatnya masih oke karena ia masih bermain dalam dunia nyata. Tak lama kemudian, tentu bukan untuk menambah durasi game-nya, akses internet kuberikan dan tanpa sepengetahuanku, ia bergerak sangat cepat sekali dan sudah sangat familiar YouTube dan FB.
Tv kabel di rumah kami yang juga menjadi kesekian masalah selain gawai-gawainya, sudah 3 kali pasang cabut gara-gara ia tidak menaati peraturan untuk menjauhi beberapa siaran yang kularang. Maksudku memasang Tv kabel agar ia tidak menyerap tayangan lokal yang tidak membangun nalarnya. Entah bagaimana kegilaan sinetron dianggap keren oleh anak. TV kabeldiputus, dia mencari kartun di YouTube. Gawai disita dia mencari akal memakai tablet pc-ku.
Pokoknya, sejak anakku mengenal si Tom Jerry, sejak itulah aku sakit kepala hingga hari ini dan sekarang ditambah dengan urusan gawainya ‘internet’. Aku tentu ingin bersikap bijak, tidak menjauhkannya dari kemajuan zaman dan selalu menantangnya agar ia bisa memetik manfaat dari kemajuan teknologi. Dilemaku ini dihadapi keluarga manapun saat ini dan telah menjadi suatu tantangan. Tantangan untuk membangun perimbangan sangat besar kurasa karena akses di Temanggung sangat terbatas dan di rumah temannya hanya diriku.
Waktu pun berjalan. Sekarang peta permainan sudah tampak berbeda. Sebulan terakhir aku baru mudenk , ia sudah tidak pernah keluar rumah bermain. Rupanya, teman-temannya yang dulu suka datang sekarang masing-masing di rumah mereka sudah ada sebiji teknologi—pengganti kebersamaan. Baru tadi sore ini, Mbak Sum yang bekerja di rumah kami dan juga rewang di beberapa tetangga mengatakan, “Anak-anak tempat dia bekerja sudah berebutan ngenet.”
Kemudahan Yang Menjerumuskan
Sampai level ini, sebagai pengguna internet kelas berat, terkait latar belakang dibesarkan teknologi dan profesiku penulis, yang kurasakan dunia serasa berhenti tanpa internet. Apa begitu jugakah yang dirasakan anakku dan semua anak-anak yang terjangkit net?
Tanpa melihat dampaknya kita perlu apresiasi ide pemerintah menyambungkan seluruh daerah dengan koneksi pita lebar. Dalam waktu dekat sangat mungkin daerah yang masih makan nasi tiwul dan sering mati listrik atau anak-anak ke sekolah naik jembatan gantung yang hampir putus akan mudah mengakses internet.
Hadirnya internet.org serasa sinergi dengan ide pemerintah walau katanya hanya situs layanan pubik yang bisa diakses gratis namun menurutku peta permainan teknologi akan berubah dramatis dalam waktu dekat dan akan mempengaruhi semua turunannya, termasuk dari regulasi sampai ke perangkat keras.
Tanpa ada perbaikan jaringan dan rencana biaya rendah internet, sejak dulu dampak negatif internet sudah memprihatinkan. Semangat pita lebar maupun internet.org berkisar akan memberikan kepada anak sedikit gembira karena bisa main game lebih variatif, mudah dan murah. Otomatis remaja yang sedang pubertas mendapat pengalaman mengakses gambar video porno lebih mudah. Ini memang pemikiran skeptis dan sifatnya bukan untuk menyerang karena dari pendekatan rasa skeptis biasanya akan muncul ide cemerlang.
Beberapa hal yang perlu dipikirkan tentang dampak negatif secara umum adalah:
- Pendidikan seksualitas, kita harus jujur, orang dewasa saja banyak mengambil ‘pendidikan seks’ dari internet dalam pembelajaran sesualitas atau sekedar mencari pemuasan sesaat, bagaimana anak dalam masa keingintahuannya yang begitu besar? Penyerapan pendidikan seks bebas oleh anak digital menurutku akan banyak mempengaruhi pola pikir, perilaku dan nilai-nilai yang ingin mereka miliki pada masa akan datang. Perilaku seksualitas akan menentukan jati diri suatu bangsa
- Warnet pindah ke rumah, kemajuan otomatis akan membuka peluang yang melahirkan kegiatan ekonomi. Warnet akan semakin menjamur dan yang kubayangkan tiba-tiba ada ‘warnet’ di lereng gunung. Sepanjang sejarah warnet Indonesia, tidak pernah terlepas dari isu penggerebekan atau razia dan kalau warnet sudah ada di dalam kamar apa mungkin razia masih relevan?
- Budaya dan perilaku masyarakat, nilai-nilai tradisional keluarga yang selama ini bertahan dari warisan sosio-kultural akan mengalami usaha ekstra keras mempertahankannya. Pola pikir baik dibangun dari ribuan tahun namun hanya perlu semalam untuk meruntuhkannya
Nasib Gunung Yang Mengenet?
Aku sudah lihat Anjar dan kaget setengah mati, ia terus merengek minta main game di ponsel cerdas Ibunya. Sebelumnya juga sudah dibuat kaget, biaya ngenet mulai masuk dalam daftar pengeluaran bulanan orang-orang gunung. Perkiraanku 10-20% per bulan dari pendapatan rata-rata keluarga yang besarnya tidak lebih dari 1,5 x UMR Temanggung. Sangat terlalu amat besar untuk ukuran desa di gunung.
Dua pertanyaan di bawah ini akan memberi renungan kepada gairah besar yang sering kali dilakukan karena membela kepentingan makro:
- Apakah pemerintah ingin petani menjual padi secara online?
- Apakah pemerintah sudah pernah menghitung ekonomi dan non ekonomi yang hilang akibat dampak negatif internet? Dibandingkan dampak positifnya apakah seimbang? Kalau seimbang itu namanya gali lubang tutup lubang kalau berlebih berapa lebihnya? Pemerintah, pelaku bisnis tentu akan mengatakan lebih besar positif kalau tidak untuk apa internet? Kalau begitu kita harus minta jaminan, angka yang diberikan harus sangat signifikan
Perhitungan cepat:
Anak yang sudah mengakses internet sebesar 100 juta saja (45% dari 220 juta pengguna ponsel aktif dan asumsi sebagian mereka memakai gawai orang tua atau ke warnet dan fasilitas lain). Pemanfaatan internet sebagai sumber informasi (positif) hanya 20% dan kalau potensi ekonomi dan non ekonomi per anak 1000 rupiah/tahun saja maka potensi bangsa yang hilang adalah sebesar 80 milyar/tahun.
Angka 1000 rupiah hanya metafor untuk sebuah kebebasan yang tidak pernah bisa dinilai. Hilang dengan cara menyakitkan karena ada anak dibunuh akibat kekerasan seksual, anak hamil diperkosa bergilir. Anak diperkosa orang tuanya sendiri. Anak melacurkan diri. Anak terpaksa menikah dini karena hamil diluar nikah. Setiap anak mempunyai potensi membentuk bangsa ini. Ini fakta yang menyakitkan kita sebagai bangsa yang mendapat rahmat demografi.
Kendala Itu
Dampak negatif internet tidak ditentukan lagi oleh batas geografi dengan menilik perkembangan emosional dan mental anak. Masalah apapun kini akan menjadi masalah global atau nasional namun penyelesaiannya harus bersifat inklusif.
Tulisan ini mempunyai pesan khusus penyelamatan anak dari dampak negatif teknologi pada umumnya dan menitikberatkan kepada nasib anak di daerah-daerah. Anak dalam konteks penulis dalam rentang usia balita sampai SMA.
Di bawah ini, beberapa alasan dan fakta yang harus menjadi dasar berpijak dalam pengambilan solusi:
- Orang tua gaptek , teknologi tidak bisa dikatakan beri pengertian kepada anak sementara orang tua tidak tahu apa itu teknologi. Dalam teknologi ada unsur mematikan dan menumbuhkan seperti virus sengaja dicipta lalu anti virus dibuat. Aku bahkan percaya suatu teknologi ‘yang sedikit pelit memanjakan pelanggan’ sengaja dikeluarkan terlebih dahulu agar versi terbaru ‘mungkin hanya biasa-biasa saja’ menjadi sangat ‘wah’ pamornya; begitulah teknologi ‘bisnis’ hidup selama ini. Jadi pemerintah harus intervensi ke dalam teknologi yang lebih dari sekedar pemblokiran situs tidak sehat
- Kualitas pendidikan seks, di desa kita tahu segala sesuatu serba terbatas bukan? Hal ini sangat mengerikan kalau anak mendapat informasi yang keliru tentang fungsi dan peran seksualitas. Dirinya akan mempengaruhi keturunannya kemudian dalam masyarakat mereka hidup?
- Nilai tradisional, nilai-nilai luhur yang hidup dan besar dari keluarga mau dipertahankan tidak, lama-lama bisa tergerus loh?
- Basis kelokalan bangsa, desa adalah basis kekayaan nilai bangsa, dari sini selama ini bangsa mendapat kesegaran hidup. Penguatan desa adalah memulai dari apa yang dimiliki desa, kemudian baru yang luar silakan masuk?
- Pelaku bisnis, pelaku bisnis dari perangkat keras, lunak dan jaringan harus mampu dilibatkan
Perimbangan Selalu Menjadi Solusi
Idealnya, menurutku pemerintah memetakan dulu dampak kemudian memastikan dampak dapat diatasi dan silakan set berapa presentase yang ingin ditangani dan tentu harus berkesinambungan. Dasar pengambilan keputusan menurutku sekarang ini sudah harus dibalik, bukan berdasar dampak positif yang hilang akibat tidak melakukan sesuatu tetapi dampak negatif apabila dilakukan sesuatu karena dampak positif sifatnya otomatis dari hasil seiring berkurangnya dampak negatif. Hitungannya tidak boleh percepatan melulu. Lambat sedikit asal selamat tidak mengapa, lebih baik untuk jangka panjang, kemudian baru membangun apa yang mau dilakukan.
Beberapa Pemikiran Berimbang:
- Data dan data, pertama dan utama Saya selalu menekankan solusi berdasarkan data. Data mesti bisa di-breakdown sampai terkecil dan bukan terkait satu kali proyek. Maaf aku termasuk ragu dengan data BPS, bagaimana tidak karena mengunduh data publik saja selalu bermasalah di situs mereka.
- Penanganan dampak negatif, penanganan dampak harus dipisahkan lebih tajam, antara kota-desa, kota kabupaten-kota besar, desa gunung-desa tanah datar berdasarkan masing-masing dinamikanya seperti usia, basis perekonomian, data kejahatan, fungsi dan peran,
- Pemetaaan manfaat, sama dengan penanganan dampak, harus dipertajam, penguatan apa yang ingin dilakukan pada struktur wilayah terdampak
- Strategi penguatan keluarga, problem bangsa sudah dimulai dari keluarga
- Transformasi warnet, kalau teknologi sudah sampai basis data dan ponsel cerdas maka era warnet akan segera ditinggalkan oleh ‘pemakai tidak produktif’. Kalau warnet di daerah dibesarkan oleh pasar tidak produktif maka warnet sebagian besar akan bubar. Prediksiku tidak sampai lima tahun ke depan. Kesulitan justru semakin mengerikan karena warnet akan dibangun di dalam kamar tidur. Makanya hasil penemuan mencengangkan bahwa mereka teradikalisasi dari dalam kamar. Saat itu strategi penguatan keluarga sangat dibutuhkan.
- Terobosan pemblokiran situs tidak sehat, pemblokiran entah bagaimana caranya sudah harus melibatkan masyarakat secara nyata dan seluas-luasnya karena masyarakat yang paling tahu. Pemerintah harus membuat program terebosan yang bisa diukur kinerjanya. Pakai teknologi untuk melawan teknologi, sistem konvensional. tidak efektif lagi
- Perjuangan nilai, pelaku bisnis diharapkan lebih tergugah pada perjuangan nilai dan sesungguhnya mereka mempunyai andil sangat besar karena ada nilai tambah ekonomi yang telah diperoleh.
- Melibatkan relawan, masa kini kukira akan semakin tumbuh relawan yang bekerja demi kemanusiaan murni. Pendekatan sebagai mitra kerja mungkin perlu dipertimbangkan
Kita hanya bisa melakukan perimbangan dalam dunia yang terus bergerak. Perimbangan adalah usaha memberi tandingan dalam “aliran pikiran” (baca: ideal) dan terkandung unsur doa dan harapan tentang moga-moga pembangunan perimbangan di tempat akses selebar daun sengon didengar semesta agar anak-anak kita tumbuh sehat pikirannya. Harapakanku itu!
Baca juga: Kembali ke internet.org
Kritik Saran Lain
No | Kredit | Publikasi | Judul | Bidang | Ditujukan | Tautan |
---|---|---|---|---|---|---|
2 | 20 April 2015 | Nilai Sebuah Kebebasan | Teknologi & Psikologi Anak | FB, Pelaku Bisnis & Kementerian terkait | - | |
1 | 13 April 2015 | Merindukan Negara Tanpa Wakil: Referendum Kelokalan Sebagai Pemikiran | Politik | Rakyat, Pakar, Legislatif, Eksekutif dan Parpol | -Kompasiana -Kaukus |
|
2 | - | Kreativitas Yang Dipaksakan | Ekonomi Kreatif | BEK, Kreator | - | |
3 | - | Model Lama | Menulis dan Membaca | Media | - | |
4 | - | Pendekatan Gedung | Pemerintahan | Bupati/Pemda | - | |
5 | - | Harga Buku | Buku | Penerbit | - | |
6 | - | Nilai Kesenian | Budaya | BEK | - | |
7 | - | Logika BPS | Data | BPS | - | |
8 | - | Transformasi Medsos | Teknologi | Media | - | |
9 | - | Koperasi | Keuangan | Pelaku Keuangan | - |
- Tentang Kritik
- Kritik Harus Membebaskan
Kritik selain membangun harus membebaskan orang yang dikritik dan tidak melakukan seperti yang dikritik. Itu kalau kita percaya teori cara berpikir manusia tidak pernah 100% linear. Bisa jadi beberapa bagian saran dihasilkan dari pikiran yang keruh. Memaksakan sebuah kritikan dengan solusi yang kita sarankan juga bukan penyelesaian karena sama saja menganggap diri adalah pengendali. - Kritikan Sehat
Selain itu, agar kritikan bisa diterima dengan baik maka kritikan harus sehat, bisa dinalar dengan benar, mampu menjabarkan risiko baik dan buruknya, memperjuangkan kepentingan dan manfaat yang jauh lebih besar serta yang paling penting mempunyai tujuan luhur. Tentang gaya, penilaian subjektif dan muatan bahasa yang dipakai sering kali kalah padahal isi kritikan benar namun sebuah kritikan yang didasari kepentingan kelompok yang ‘sempit’ sudah cacat di depan dan tidak layak diperhatikan. - Fokus
Sebagai penulis dengan cita-cita luhur dan terkait pembangunan non fisik menurut Giharu harus berada di garda depan memberi sumbangsih pemikiran kepada masyarakat. Bidang-bidang terkait perjuangannya akan selalu menjadi perhatian penulis, yaitu, sastra dan buku, sosial dan politik, teknologi, pendidikan dan hal lain yang mempengaruhi anak, perempuan, kelokalan dan lingkungan.
Comments