Panti Jompo 1
Dengan menunggang alasan-alasan yang sangat manusiawi, sisi gelap manusia cepat keluar apabila mulai terperosok oleh anggapan bahwa proses yang sedang berlangsung adalah “suatu hal biasa”.Apakah harus begini sementara harus begitu? Ketika hati nurani tersentil dengan suatu hal yang mampu membuat air mata menitik, kita mungkin sedang menemukan sisi gelap manusia kita.
Dalam konteks dilemaku, apakah harus tetap merawat ayah yang ‘drop’ sementara anak harus sekolah? Anak kubawa serta ke Jakarta karena di Temanggung juga tidak ada yang urus. Jarak Temanggung-Jakarta soal enteng kalau dalam semangat liburan atau terpaksa bolos sekolah karena suatu urusan yang mempunyai jangka waktu yang pasti, jelas kedua hal tersebut bukan penyuplai faktor dilema.
Aku ini setengah pengangguran, selain menulis dan disibukkan urusan proyek-proyek idealismeku, waktuku sangat bebas, namun aku mulai hati-hati, setelah 4 hari merawat ayah full 24 jam perkara membuatku cepat didera “sesuatu mulai menjadi biasa”. Karena ukurannya sangat ril dan jelas tersaji di depan mataku; sejak kedatanganku kondisi ayah yang drop sampai ke titik nol berangsur membaik, ayah lebih bersemangat, makan lebih banyak dan mau mencoba duduk di kursi roda kembali. Kabar gembiranya bahkan mulai mau makan sendiri.
Ayahku secara fisik tidak sakit. Semangatnya yang padam. Tubuhnya kehilangan daya pemantik. Ayah merasa sudah terlalu lama hidup dan merepotkan terlebih kakak yang merawatnya. Perasaan ini, dugaku didanai oleh rasa kurang berbuat sesuatu. Kalau menjenguknya pas di Jakarta, aku sering mencandainya untuk memberi semangat kataku, “Kehidupan kedua dimulai umur 90.” (Red: pemikiran ini tidak sepenuhnya kusetujui namun perlu kukatakan, semangat hidup di sana tidak murni lahir dari dasar kerinduan manusia yang niche-nya ingin segera kembali ke fitrah. Ada korelasi berbanding linier antara semangat hidup vs uang berlimpah; tidak ada anak yang mampu merawat tinggal bayar panti jompo—semangat tak perlu patah oleh kecewa karena ternyata orang tua hanya tugasnya memberi atau mengarah ke bidang kedokteran yang bisa kita terima seperti hormon kehidupan dalam kedok ‘hormon cinta’ disuntik tiada henti—hormon sintesis akan menghasilkan semangat sintesis). Jadi, daya hidup luar biasa seorang tokoh yang cukup populer di negeri ini dan telah berumur 90 tahun lebih yang kubaca itu kupakai sebagai bahan candaan untuk ayahku.
Alasan anak yang dikorbankan sekolahnya memang benar sekali, ini hari ke-4 bolos, aku mulai resah namun heran karena dibela pandanganku tentang “pendidikan berbasis pengetahuan” menghilangkan urgensinya. Karena sekolah apakah betul tempat menimba pengetahuan karena sekolah juga mengambil dari sumber yang sama. Kekayaan sumber pengetahuan tanpa pengolahan cara cerdas adalah sekolah tentang gedung-gedung. Alasan terpenting dan urgensi aku dalami, sepertinya ini, aku mulai terjebak dengan zona nyaman Temanggung. Dua minggu adalah batas kemampuanku menoleransi kehidupan beton Jakarta, lewat dari itu, aku seperti kehabisan napas di Jakarta; keseimbangan kacau saat jauh dari suara angin dan sejuk gunung-gemunung.
Kalau aku mengambil keputusan meninggalkan ayahku agar anak tidak ketinggalan sekolah mungkin dianggap lebih relevan dibandingkan alasan ketidakmampuan pribadiku mendalami preferensi kehidupan yang sedang berlangsung.
Orang yang tidak memahami cara berpikirku mungkin meragukan daya tahanku berkorban untuk seorang ayah atau dianggap keterlaluan kalau alasan yang kupakai bukan untuk sekolah anak. Aku sebenarnya sedang menyampaikan prosesku mengambil jalan kebijaksanaan karena kebijaksanaan selalu diperjuangkan orang-orang yang sudah bertemu dengan dirinya di atas gunung. Baiknya bagaimana? Jalan kebijaksanaan membutuhkan kemampuan menilik sampai ke sudut hati tersunyi letak ‘gairah semua menjadi biasa’ tersimpan.
Alasan memang sangat ajaib menodai cara berpikir luhur, selalu mampu hadir liar dalam jalan kebijaksanaan yang ingin diambil siapapun. Alasan tanggung jawab pekerjaan adalah alasan yang paling sering dipakai orang dewasa yang masih waras untuk tidak melakukan dorongan hati. Rupanya, sikap bijaksana itu ternyata lebih mudah dipelajari ketika kita hidup sendiri, tidak ada tanggungan. Jadi analisaku, kalau aku hidup melajang tanpa anak mungkin masalah preferensi pribadi tidak menggema. Makanya tak heran sering kita menyaksikan begitu banyak orang-orang yang berkecimpung di bidang kemanusiaan atau LSM, para hakim, jaksa yang saleh akhirnya rusak di tengah jalan ketika mobil diteriaki mau oleh anak istrinya.
Kakak yang merawat ayah mengalami keletihan luar biasa, mengurus dari sejak ibu sampai ibu tiada dan kini ayah tergolek di ranjang menjadi pertimbangan tersendiri bagiku, agar bebannya terbagi dengan cara ini karena ayahku tidak pernah mau ikut dengan anak lain. Ketenangan Temanggung tidak menarik bagi ayahku walau berulang kali kutawarkan. Aku tahu, ayah berpikir aku makhluk anaknya yang paling ‘sengsara’ karena hidup tanpa suami dan tanpa siapa-siapa di Temanggung apa masih bisa menanggung dirinya. Kebahagiaanku yang terpancar setelah tinggal di Temanggung tidak juga menenangkan hatinya.
Menurutku ayahku paling banyak senang hidupnya tetapi paling miskin bahagianya. Kelemahan-kelemahan dirinya banyak menghambat energi positif dalam dirinya. Merawat ayah yang sudah pudar sinar hidupnya memberikan sepucuk harapan yang bisa ia bawa pergi kelak ke surga sebagai ciptaan yang berbahagia adalah faktor terberat meninggalkannya. Caraku merawatnya dengan lembut dan penuh pengertian memberinya sedikit semangat. Siang ketika kuberitahu mungkin akan pulang besok ayah langsung mogok makan. Aku memang punya kesabaran tinggi dan menurutku rata-rata kami anak-anak mereka mempunyai daya tahan yang kuat. Aktivitas kakak yang super sibuk dengan ketiga anaknya serta suami yang harus dilayani penuh membuat kesabaran itu lama-lama juga goyah. Mengharap kakak lebih lembut dan pelan rasanya tidak mungkin dan lebih tidak mungkin lagi mengharap ayah memahami kesulitan kakak karena dirinya saja sudah sebagian ia lupa.
Malam kemarin, ketika kukatakan tidak jadi pulang, ayah langsung minta dibuatkan susu. Aku harus bagaimana?
Tetapi Tuhan belum ingin memanggilnya, ayah seperti menanti dalam kesadaran naik-turun. Memberi harapan dalam sisa waktu yang tak lama lagi kukira adalah jalan kebijaksanaan. Suara hatiku mengatakan begitu. Kukira inilah jalan kebijaksanaan itu; awal dan akhir akan membawa rahmat bagi siapapun termasuk orang-orang yang membaca artikel ini akan merenunginya sebelum menyerahkan orang tua ke Panti Jompo. Kalau mau membuktikan semangat itu mampu membangkitkan hidup cobalah berikan dengan cinta.
Solusi sementara mencari bantuan perawat, ini lebih baik dari panti jompo atau meminta anak kawan yang sedang belajar masak di rumahku kembali ke Temanggung menemani anak sementara aku tetap merawat ayah di Jakarta. Kuharap segera ada jalan keluar.
Ketika hati nurani tersentil dengan suatu hal yang mampu membuat air mata menitik, kita mungkin sedang menemukan sisi gelap manusia kita.
PENTING! INFORMASI SITUS DILINDUNGI UU. PELAJARI SYARAT & KETENTUAN PEMAKAIAN
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.