Putra Daerah
Kisah Malinkundang masih berlanjut dengan versi yang lebih mengerikan. Pada zaman semua serba instan dan segala sesuatu telah ada barometernya, kisah anak durhaka sangat mudah masuk box office kalau dijadikan film kelak. Bapak kini juga dilawan—alam yang terus dieksploitasi oleh anaknya menganologikan putra-putri negeri yang memperdagangkan ibu bapak-nya.
Kebetulan kau hidup di gunung maka gunung adalah ibu bapakmu dan kalau lautan maka lautanlah ayah ibumu. Nasib yang hidup di kota sesungguhnya sangat ‘klasik’. Pengertian klasik di sini untuk menyampaikan nasib adalah nasib. Coba kau pindah-pindahkan gedung, bisakah—orang-orang kota terjebak di lorong-lorong beton—mereka terus bergerak tetapi sebenarnya stagnan karena di dalamnya semua rutinitas dan monoton. Dibenci dan disayang—uang masalah klasik; adalah orang tua anak-anak negeri kota. Konsep semua akan menjadi uang tidak menyisakan ruang untuk jiwa bercengkerama dengan fisik. Rumah bukan lagi kawasan untuk tempat istirahat setelah seharian lelah bekerja tetapi tempat jantung dipacu. Banyak anak-anak negeri kota yang sebatang kara, mencari ibu bapak angkat sampai ke lembah-lembah (bagian dari masa laluku juga).
Setiap tanah melahirkan anak. Agar manusia sadar bahwa yang dibenamkan dalam tanah bukanlah kematian sebaliknya kehidupan. Biji dilempar ke atas akan tetap tumbuh tunas ketika jatuh di atas tanah. Sudah semestinyalah anak-anak negeri terlebih putra daerah bangkit membela tanah tempatnya lahir.
Negeri ini memang aneh. Sudah banyak yang lucu-lucu kini banyak yang terbalik-balik. Aku ingin memiliki sebuah tungku kayu api, wong Temanggung ingin kompor listrik. Aku belajar memaksimalkan sikil (bahasa Jawa berarti kaki) mereka memilih melatih roda-roda mobilnya. Aku sudah cukup memandang Sindoro Sumbing namun mereka pergi membawanya dalam proposal-proposal seperti gunung adalah sebuah properti.
Putra daerah yang mempunyai usaha kecil-kecilan biasanya memulainya dengan beternak lele dua ekor, setelah lelenya gemuk-gemuk dan beranak-pinak hartanya pun ikut membukit. Mereka lalu beternak tanah. Membeli lahan-lahan dan bekerjasama dengan anak-anak negeri kota yang kesepian, membuat tempat penginapan, tujuan wisata, motel dan sebagainya. Awalnya kecil-kecilan, karena jaminan keberlangsungan usaha adalah pertumbuhan lama-lama menjadi besar-besaran seperti jaringan waralaba yang membuka cabang sampai ke gunung-gunung.
Menurutku, pendekatan tujuan wisata sangat sesat. Tidak semua tempat harus menjadi tujuan wisata. Menjadikannya destinasi pariwisata seperti terkandung ketidakpercayaan diri atau kasarnya seperti kisah seorang gadis desa yang melacurkan diri, menjadikan diri sebagai objek. Tidak heran daerah-daerah wisata dikenal sebagai “objek wisata”. Semua yang hidup dan mati adalah objek. Kalau dilakukan oleh pemerintah atau sebuah korporasi yang besar maka kita boleh klaim sebuah pertanyaan mendasar, “Sebenarnya pembangunan itu untuk siapa?” Semakin besar dana yang ditanam semakin menjadikannya objek.
Putra daerah maupun anak-anak negeri mempunyai tugas berat agar kelak anak-anak masa depan seperti “gadis gunung yang menggigit labu” masih bisa memandang seperti kita bisa memandang hari ini. Sebuah hamparan yang tembus pandang sampai ke ujung langit dan menemukan gairah hidup di sana. Membangun masa depan dimulai dari membangun cakrawala.
Tentang anak-anak negeri yang yatim piatu aku harap kalau kalian entah kapan singgah di Sindoro Sumbing atau di gunung, bukit dan lembah atau di manapun hati kalian bisa kecantol dan entah karena diundang oleh anak durhaka itu atau lain hal aku tidak perlu tahu maka satu hal yang aku harap kalian ketika datang tidak bermaksud membawa pulang gunung-gunung tersebut ke kota dan menjadikannya dalam bentuk ide-ide umum. Baca juga “Investasi Gunung: Sobobanyu Pembangunan Jiwa”.
Oh ya, aku hampir lupa, menceritakan nasib anak-ibu…Gerrr! Nasib kami sangat bahagia karena mempunyai ibu bapak yang utuh. Sindoro Sumbing adalah ibu bapak raksasa kami. Empat bulan lagi anakku hampir kelas enam SD, artinya ini sudah memasuki tahun ke enam kami tinggal di Temanggung. Sekaranglah waktu yang tepat! Menyebut kami adalah manusia-manusia lereng Sindoro Sumbing bibir ini tidak canggung lagi.
Sebagai hormatku, atas jerih payah, suka duka manusia lereng menapaki jalan mendaki, aku ingin memastikan siapapun bahwa merekalah empunya alam! Turunan pertama semesta! Keaslian manusia lereng dan para leluhurnya tidak pernah bisa dialihpindahkan bahkan oleh sebuah surat tanah negara. Mereka-lah juga pihak yang paling berhak mendapat berkah terbesar dari alam atas kesetiaaan mereka merawat ibu bapak.
Anak-ibu seperti kami dan semua pihak yang memakai kekuatan mata uang adalah selalu pendatang dan hal ini bersifat tetap—manusia-manusia yang kehilangan ibu bapak mencari sampai ke gunung. Namun untuk kepentingan keberlanjutan masa depan si gadis gunung yang menggigit labu maupun generasi mendatang, kita mempunyai penyebab yang sama yang mempertemukan kita di gunung.
Putra daerah #TurunTangan. Mohon dukung Rencana Pembangunan Candi Air Sobobanyu: Sebuah sistem irigasi gunung yang memerdekakan jiwa!
BANTU AKU UNTUK BANTU KITA. Ambil bagian dalam Program Petaru atau program kontribusi lebih besar dalam KNIH.
Tulisan ke-2 terkait Sobobanyu, judul panjang ” Sobobanyu Pembangunan Jiwa: Putra Daerah Turun Tangan”.
PENTING! SEMUA INFORMASI SITUS DILINDUNGI UU. LIHAT SYARAT & KETENTUAN PEMAKAIAN
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.