Warisan Karatan
Kita ada karena warisan. Sedikit yang karena pilihan walau sudah sebesar ini. Berbekal pendidikan tinggi, pergaulan dan pengalaman luas seharusnya kita dengan mudah menentukan pilihan untuk menyikapi suatu hal namun rupanya warisan telah menumpulkan kesadaran.
Didikan keluarga dengan cara makan gaya barat, lahir di keluarga ‘tegangan tinggi’, agama yang dianut, bahasa yang dikuasai dan budaya yang diadopsi semua adalah warisan. Begitu banyak warisan yang membentuk diri kita seperti sekarang ini. Semua adalah bawaan masa lalu yang tidak kita pilih. Warisan itu seperti kulit yang melekat di daging.
Handuk Sebagai Tanda Kita Sudah Memilih
Karena warisan kita mengajar hal-hal besar sejak dini maka sangat lumrah kita terjebak dengan hal-hal besar pula. Hal-hal besar itu sayangnya bukan tentang nilai-nilai tetapi monoton ke arah material. Hati-hati, hal-hal besar di sana tidak identik dengan berpikir besar. Warisan pendidikan seperti “bersekolah agar dapat pekerjaan bagus” kedengarannya semakin tinggi sekolahnya adalah “raih cita-cita setinggi langit agar balik modal”.
Warisan berpikir hal-hal besar hanya memompa kemampuan terbaik manusia keluar pada saat menentukan pilihan untuk hal-hal penting saja namun kadang itupun belum cukup apalagi untuk hal-hal kecil yang sering kita abaikan. Sering kali untuk hal-hal yang sehari-hari kita kelimpungan mengatasinya padahal dari keseharianlah kita bertahan. Bukankah kita lebih sering memarkir mobil dibandingkan kawin? Lebih sering minum, makan, memakai handuk, memakai lampu dan berbicara dibandingkan mencari pekerjaan? Perkawinan, rumah, pekerjaan, peristiwa kelahiran, kematian, sekolah kita anggap inilah peristiwa besar yang hanya boleh mendapat energi terbaik kita.
Kalau mau tahu seberapa jauh kita bebas mengambil pilihan yang tepat dan benar cobalah analisa seberapa sering merasa tidak berdaya terhadap kebiasaan buruk seperti handuk yang enggan kita jemur segera setelah mandi atau lampu yang selalu lupa dimatikan dan sampah yang kita sapu tetapi disisakan pekerjaan bagi orang lain di luar pintu? Sikap tidak berdaya lama-lama kita anggap “sifat”, jadi mau apa lagi kalau tidak meminta orang memakluminya.
Sikap tidak berdaya sangat dekat dengan sikap tidak peduli (egosentris manusia). Sikap tidak peduli adalah penyakit yang ditimbulkan dari warisan yang sudah membatu.
Kesadaran Memutus Mata Rantai Kebiasaan Buruk
Kebiasaan buruk yang terpola rapi sering didengar seperti “sudah deh, tidak akan bisa berubah, sudah turunan!’ Warisan karena ada perjalanan waktu mereka tinggal di alam bawah sadar, yang berada di alam bawah sadar sifatnya sangat laten dan akhirnya menjadi permanen.
Dalam konteks tidak ada yang kekal, maka kukira tidak ada yang permanen kecuali hanya keputusasaan. Manusia menurutku yang paling fleksibel dalam perubahan. Aku yakin pasti sudah ada penelitian tentang gelombang listrik kimiawi dalam diri manusia ketika akan menyikapi suatu hal. Gelombang listrik kimiawi itu adalah presentasi peluang-peluang manusia untuk berubah, dari buruk ke baik juga termasuk bisa sebaliknya.
Kita perlu memutus mata rantai yang busuk kalau tidak mau terinfeksi sepanjang hidup. Cara cerdas diperlukan, yaitu dengan membuka kesadaran dini dengan melihat diri atau orang lain adalah korban dari warisan. Mengakui kita semua adalah korban dari sebuah sistem yang diwariskan akan meringankan pekerjaan.
Selapis demi selapis kesadaran terus digali dan diperdalam. Sampai pada suatu kedalaman akhirnya kita benar-benar mencapai tingkat benar-benar sadar. Sadar bahwa rasa tidak berdaya itu dilatari kemalasan yang mendasar, ketidakpedulian yang besar, pemahaman egosentris yang berlebihan dan ada kebobrokan dalam diri yang mengerikan.
Kalau kesadaran terus digali, menurut pengalamanku maka kita akan sampai pada tahap ‘kesadaran penuh’. Menjadi seseorang yang punya harga diri karena memakai kemampuan terbaik manusia yang merupakan warisan dari pencipta yaitu kebebasan untuk memilih. Kesadaran kekinian yang sedang terjadi akan menemukan bahwa sifat buruk itu bukan kontribusiku semua artinya aku mempunyai peluang untuk keluar dari sana dengan menentukan pilihan-pilihanku sendiri.
Hubungan Kausal
Kalau begitu di mana letak kekeliruan dengan gaya bicara mengajak perang atau ada pihak yang dengan mudah meremehkan gaya makan angkat kaki? Dan dimana letak kesalahan dari suatu sikap yang kita lakukan namun tidak sesuai dengan warisan orang lain?
Apabila kita belum sanggup keluar dari kebiasaan-kebiasaan buruk karena kesadaran tidak mau juga muncul. Mungkin kita perlu membangun “kesadaran tepi” terlebih dahulu dengan mengingat bahwa hidup ini terdiri dari hubungan sebab akibat. Seumpama kebiasaan buruk kita adalah “sebab” masa lalu apakah akan kita jadikan “akibat” bagi orang lain? Kalau cukup pantas mereka menerima maka apakah kita cukup rela mendapat akibat dari orang lain? Kekeliruan dan kesalahannya terletak pada warisan orang lain namun nilai universal sebagai panduan.
Setiap detik dalam hidup ini adalah proses memilih. Mengapa harus memakai pakaian hitam di acara pemakaman, apakah kita sungguh sadar pakaian hitam bisa mencerminkan dukungan? Mengapa lebih menyukai rumah bersih, apakah kita sungguh sadar rumah kotor adalah sarang penyakit? Mengapa membawa botol minum dan tidak memakai tisu, apakah kita sungguh sadar bumi butuh bantuan kita untuk bertahan? Dan mengapa akhirnya memajang kembang di meja? Kalau dipikir-pikir begitu banyak yang membutuhkan konsentrasi kita agar senantiasa mengambil pilihan yang tepat dan benar sementara pikiran dan perilaku juga dipengaruhi suasana hati yang berubah-ubah?
Tidak Pernah Sepenuhnya Bebas
Manusia memang tidak bisa sepenuhnya bebas memilih walau kesadaran penuh telah dimiliki. Seorang biksu yang telah meninggalkan semuanya, aku kira ia masih belum bisa sungguh bebas memilih. Dia masih harus taat dengan pimpinannya, beradaptasi dengan rekannya dan kalau suatu hari ia menjadi pemimpin maka warisannya adalah sebab akibat yang jauh lebih luas, dalam tataran dunia mungkin.
Oleh sebab itu, dunia butuh pemakluman tulus karena kesadaran sebagai korban. Ini adalah bentuk dukungan yang saling meneguhkan, sambil terus mencari cara kreatif yang efektif untuk menyiasati agar kebiasaan-kebiasaan buruk mendapat lawan kesadaran. Pencapaian kesadaran pada kekinian ‘ketakberdayaan’ akan melenyapkan rasa tidak peduli.
Kita semua adalah bagian dari warisan keluarga, lingkungan dan yang paling besar adalah dari sebuah bangsa.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.