Penyakit Bangsa
Untuk menyelesaikan persoalan Indonesia kita wajib menegakkan diagnosa ‘hitam-putih’ agar solusi yang diberikan efektif. Parameter efektivitas suatu usaha yang terpenting adalah waktu, artinya masalah atau penyakit bisa diselesaikan dalam waktu yang dianggap tidak terlalu lama demi rakyat yang telah berkorban. Kalau dikaitkan dengan isu rasial, aku kurang setuju dengan pendapat yang mengatakan Amerika saja baru bisa keluar dari rasial ditandai terpilihnya Obama, orang kulit hitam pertama sebagai presiden setelah 100 tahun negara berdiri, pendapat ini seolah membenarkan Ahok belum saatnya menjadi pemimpin. Jadi, aku bukanlah generasi yang percaya Indonesia harus melewati 100 tahun untuk terjadinya sebuah perubahan. Setiap perubahan zaman membantu bangsa-bangsa keluar dari permasalahannya dengan kecepatan masing-masing.
Persoalan Indonesia adalah terlalu banyak jiwa-jiwa linglung mengendalikan ruang publik. Jiwa-jiwa linglung hanya bisa menggenggam kekuasaan karena memakai kekuatan uang. Itu bohong dan pembodohan kalau berkat gagasan mereka bisa naik ke atas. Mereka diuntungkan karena sikon kesejahteraan rakyat yang belum merata dan yang benar-benar tercerahkan oleh pendidikan masih sangat sedikit. Dinamika yang terjadi dari sebuah proses yang dididik oleh uang seperti induk tikus penyakitan akan melahirkan anak tikus pesakitan.
Dari seorang pribadi yang bermasalah telah memberi kesempatan jiwa-jiwa kosong semakin tersesat, lalu hal ini menjadi penyakit bangsa.
Jadi, diagnosa harus secara tegas ditegakkan bahwa penyebab penyakit bangsa karena terlalu banyak kelompok yang mementingkan diri dan golongannya memegang kekuasaan dibandingkan kelompok yang mementingkan bangsa.
Mengapa jumlah mereka lebih banyak karena mereka telah menciptakan pra kondisi, pertama mereka membawa gerbong orang-orang bermasalah juga di dalam lingkaran mereka dan kedua birokrasi sengaja dipersulit lalu diekpos besar-besaran agar kelompok nasionalis lelah duluan sebelum berperang. Kelompok yang mementingkan bangsa sengaja dikerjai untuk disingkirkan. Penyakit ini akhirnya menjadi sebuah deskripsi yang diterima sebagai sebuah kebenaran oleh kelompok negarawan bahwa sampai mati bangsa ini tidak bisa keluar dari masalahnya jadi untuk apa peduli.
Itu pikiran orang putus asa. Nah, sekarang kita bergerak selangkah lagi dengan pikiran yang telah tercerahkan. Kalau kita mau menyelesaikan persoalan bangsa kita wajib menegasikan mereka ‘segala tetek bengek yang telah menjadi opini’ bahwa seolah-olah itu tidak ada. Maksudnya adalah kita perlu menyelesaikan persoalan di dalam diri kita terlebih dahulu karena ini ada dalam ruang kendali kita, agar kita bisa membangun suatu pandangan yang benar-benar baru bahwa kita bisa menyelesaikan persoalan kita sebelum mati. Hal ini membawa konsekuensi, kelompok nasionalis yang baik dan kompeten perlu bangkit, rebut kekuasaan, singkirkan mereka, dan bahagiakan rakyat! Setelah rakyat bahagia, perlahan-lahan penyakit sosial mereda dan berbagai persoalan masyarakat, bumi, lingkungan dan sebagainya dengan sendirinya akan menemukan jalan cerah.
Setelah kekuasaan direbut maka dari sanalah perimbangan terjadi. Solusi relatif ideal pun bisa diperjuangkan. Pertanyaannya, ingin membasmi penyakit seperti sistem kemotrapi atau cara herbal? Dengan kemotrapi akan banyak jatuh korban, tetapi dengan herbal akan jatuh korban lebih banyak lagi karena waktu yang dibutuhkan bangsa ini berbenah berbanding lurus dengan penderitaan rakyat loh! Semakin lama mereka tidak disingkirkan semakin banyak rakyat menjadi korban. Dapatkah kita rasakan rakyat itu menjerit siang dan malam entah karena dipersulit mengurus ijazah, entah karena pupuk subsidi dicampur pasir dan entah karena pungli.
Rakyat yang menderita karena seharusnya mereka bisa mengakses kesehatan dengan mudah dan gratis, tetapi dipersulit petugas. Petugas melakukannya karena salah didik RT/RW, RT/RW begitu karena lurahnya payah, lurah payah karena camat brengsek, camat brengsek karena bupati tidak beres dan bupati tidak beres karena gubernur sarap. Lalu netizen bereaksi, relawan marah, Ombusman mendapat banyak pengaduan, pengadilan sibuk dan MK repot dan akhirnya presiden turun tangan dan menginstruksikan menteri terkait; kalau diperhitungkan energi bangsa yang terbuang sia-sia gara-gara satu orang bermasalah percayalag itu lebih banyak dari energi yang dikonsumsi bangsa ini setahun.
Rakyat itu bisa saja keluarga atau bapak ibumu dan mereka mungkin sudah lama meninggal. Kau sekarang sudah berkeluarga dan mempunyai anak. Kau juga tidak muda lagi. Dulu kau melihat bapakmu hidup tanpa akses dan keadilan dan kini anakmu menyaksikan bagaimana kau bergulat dalam hidup. Dalam lima tahun ke depan, apakah mungkin ketokohan Presiden Joko Widodo mampu merasuki semua sanubari kepala daerah karena kekuasaan yang mereka raih mungkin cacat etika dan moral sebelum kau menemui ajalmu?
Maksudku, marilah kita ingat bahwa modeling penyembuhan kemotrapi sudah mengalami transformasi dan penyakit bangsa ini sudah sangat kebangetan. Kalau benar kita hidup untuk masa depan, masa depan itu adalah anak cucu yang ada di depan kita saat ini maka model kemotrapi abad 21 perlu dipertimbangkan untuk segera dieksekusi. Artinya harus ada arus pelayan bangsa yang berbondong-bondong masuk ke struktur kekuasaan sekecil apapun. Libas semua orang-orang bermasalah dan jangan biarkan mereka menyebarkan penyakit pribadinya ke ruang publik.
PENTING! SEMUA INFORMASI SITUS DILINDUNGI UU. LIHAT SYARAT & KETENTUAN PEMAKAIAN
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.