Kepalsuan
Selama kuliah di sebuah perguruan jujur kukatakan pengalaman itu tidak meninggalkan kebanggaan sedikitpun dalam diriku. Tidak juga ada satu pun memori yang mau melekat dalam diriku. Dikenang juga tak bisa terangkat. Ini jujur dari dalam hatiku. Bahkan anehnya, itu pertama kali hadir dimana aku berusaha mengikatkan akar-akarku di sebuah kegiatan kerohanian kampus.
Seingatku, daku termasuk mahasiswi yang lumayan rajin datang ke komunitas itu dan sangat sering berada pada posisi mendengar dan tidak banyak bicara. Tidak ada ambisi sedikit pun di sana untuk menjadi ini menjadi itu, tetapi anehnya itu pun cukup membuat beberapa orang ‘gerah’ dengan kehadiranku padahal lipstik tak pernah kuoleskan ke bibirku, pakaian juga tak pernah elok kukenakan, tidak ada yang mencolok dalam diriku, prestasi juga pas-pasan—jadi dari mana semua kegerahan itu berasal kalau bukan dari akar kepahitan hidup.
Bahkan dulu sempat beredar di telingaku Giharu itu agamanya kekiri-kirian.
Pada akhirnya dimasa-masa kuliah, aku lebih suka bergaul dengan laki-laki, duduk di antara laki-laki dan bercengkerama terhadap laki-laki. Sangat jarang diriku terlihat mau berada di antara perempuan.
Aku jadi ingat tulisanku tentang Engko Penjual Toco di sebuah pasar, dia mengatakan ribet kalau kedainya diurus bininya, bisa bubar bisnis katanya, perempuan hatinya sempit katanya lagi bukan sejumput tambahan toco ia kasih malah nge-BAN itu pembeli. Eh, tiba-tiba tanpa kuminta sesendok toco ia tambahkan untukku saat berbelanja di kedainya. Inilah laki-laki dia bilang tidak kepo mempersoalkan sepele. Hal-hal sepele sangat dekat dengan pengertian hal-hal yang tidak jelas.
Hati perempuan bagaikan labirin buntu yang kusut, tetapi hati seorang laki-laki yang cemburu apabila ia punya kepentingan bisnis dan cinta kepada seorang perempuan maka klimaksnya ia mampu menghabisi nyawa si perempuan itu bila tak mampu melerai nafsunya sementara hati perempuan yang tidak bisa membunuh dengan tangannya akan membunuh kemanusiaan dengan kecemburuan.
Akar kepahitan akan melahirkan turunan penyakit psikologis. Sangat mudah dilihat output-nya; ada keinganan untuk mematikan lawan; tidak mampu menerima bahwa melati itu ada yang hijau bukan hanya putih. Inilah yang kita saksikan dalam public screen, dalam bidang pelayanan masyarakat, pemerintah, politik, komunitas-komunitas berbasis rohani dan bahkan ada agama itu sendiri dibangun dari kepalsuan.
Membangun kepalsuan untuk menutupi kecemburuan adalah hal yang paling mudah dilakukan dalam hidup ini.
Arusku tidak sama dengan orang-orang dimana ada yang mampu tumbuh dalam kemacetan; sedikit saja batinku terganggu jiwaku gerah dan hendak segera terbang mencari angin kesegaran. Menurutku itu tidak sehat untuk jiwaku karena masalahnya ada intuisiku yang terus mengejarku: Aku tak mampu berlama-lama dalam sebuah komunitas yang mempunyai elemen kepalsuan dimana di sana bicara kebebasan dan pertumbuhan.
Kecemburuan adalah akar kepalsuan. Kecemburuan yang tidak tidak bisa dipertanggungjawabkan adalah penyakit historis manusia yang tak mampu selebrasi pada kehidupan yang sebenarnya: Nilai C ke-4 menurut Rm. Ismartono.
Diriku sudah berada pada taraf kekenyangan dan sudah muntah dengan pengalaman dimana tak sedikit pun daku ambil hak orang bahkan kegembiraannya pun mungkin berasal dari prosesku namun kecemburuan juga bisa hinggap pada dirinya seperti lalat yang menjilati boroknya. Perlahan-lahan ini akan mematikan kemanusiaan. Aku tidak ingin berada di sana!
Hmn…dari awal aku sempat menolak dan ngeri ketika seorang teman lama minta izin untuk memasukkan nomerku ke grup alumni dan apa yang kupikirkan akhirnya inilah dia…, semoga aku salah dalam hal ini tetapi tak bisa menistakan ituisiku.
Singkat cerita aku tergabung dalam grup komunitas yang rohani itu yang digalang oleh para alumni. Ini postingan terakhir dariku dalam wag itu dan karena ini berharga maka aku buat pula di web-ku.
Akhirnya tetapi bukan yang terakhir karena kita mungkin masih akan bertemu lagi pada lain kesempatan kataku. Khususnya untuk seorang kawan, R, terima kasih atas sanjungannya, empatinya, persahabatannya, dan marilah kita membebaskan diri kita masing-masing karena aku begitu bebas melakukannya (red: sungguh sampai detik ini tidak mampu ingat) maka seyogianya kau juga harus membebaskannya sebagaimana alam memberi dan mengambil. Kita hanyalah alat semesta.
BTW, maaf ya mans-teman semua, aku rasanya harus minggir dulu. Ini bukan tempatku sebagaimana dulu itu juga bukan tempatku maka mengapa aku data alumni tak kunjung aku kirim. Terima kasih atas kegembiraannya, sungguh grup ini cukup byk membuatku tertawa dan semangat terus.
PENTING! SEMUA INFORMASI SITUS DILINDUNGI UU. LIHAT SYARAT & KETENTUAN PEMAKAIAN
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.