Bentuk
Pemikiran-pemikiran yang kita tinggalkan adalah bentuk yang kita tinggalkan. Hasil karya-karya keras kita adalah bentuk itu sendiri.
Sebelum menjadi sebuah bentuk, ada tahap membangun, membuat, mengasah yang perlu dilakukan yang kadang tidak dengan harga murah. Kita menginginkan bentuk kue yang bulat, halus permukaannya mungkin perlu bahan yang sudah dikondisikan oleh pabrik atau tangan kita harus rela capek mengulen. Apabila pengorbanan mampu kita berikan untuk sebuah roti bodoh sekali tidak kita berikan kepada jiwa kita.
Andaikan bentuk itu adalah sebuah bangunan rumah lalu adakah sebuah bangunan berdiri dengan sendirinya dan karena jiwa lebih berharga dari sebuah bangunan namun mengapa jiwa tidak kunjung diolah? Jiwa perlu diolah agar menghasilkan kualitas unggul agar kelak tidak menghasilkan bentuk-bentuk yang mengerikan yang dihasilkan dari pikiran dan hati yang tidak selaras atau hati yang salah menyidik dan atau pikiran yang salah merespon.
Semua proses-proses itu kita masukan dalam bahasa mengolah. Spektrum mengolah sangat luas dan tak terbatas menurutku. Nah, ketika itu sampai pada tahap untuk bersedia mengolahnya dalam pikiran maka inilah tantangan berikutnya dimana menurutku hati juga akan ikut memberi stimulus bila di pikiran mendapat waktu yang cukup. Menurutku hati lebih lambat merespon dibandingkan pikiran.
Mengolah roti menjadi adonan yang diinginkan sangatlah mudah karena ada tata caranya lalu bagaimana mengolah sebuah jiwa? Semua itu berasal dari sebuah pikiran-kah? Iya dan iya menurutku.
Dalam setiap tulisan, aku selalu berusaha tidak ingin menggiring pembaca masuk ke ruang solusi. Kuharap pembaca perlahan-perlahan sudah mendapatkan devosi tulisanku dimana dan untuk apa aku melayani lewat tulisan. Ini adalah ruang berpikir bukan ruang mencari solusi bro!
Ketika kita memberi waktu pada otak kita berpikir cukup kita sudah memberi kesempatan hati mengolah. Proses pengolahan di hati akan menentukan nilai sebuah bentuk karena jiwa pun mendapat kelimpahannya. Saat itu dikatakan dia mungkin akan memiliki jiwa besar misalnya, atau berjiwa membangun bukan menghancurkan.
Kelakuan, keputusan atau tindakan yang telah diambil itu selama sudah mendapat campur hati maka kukira jiwa pantas bersorak-sorai; kita sudah maju ke tahap lebih lanjut menjadi manusia yang tidak serampangan; menjadi manusia yang memakai otaknya untuk berpikir dan memakai hatinya untuk memperkuat jiwanya.
Dalam hidup ini banyak kemarahan, ketersinggungan, kekesalan pada sesuatu hal yang tidak cocok dalam diri kita. Kita tidak bisa menyalahkan diri kita sepenuhnya yang mengalami hal tersebut karena itu juga bukan hasil ciptaan tunggal diri kita walau itu dihasilkan dari suatu proses berpikir yang lain lagi. Bagian emosi atau ketidakcocokan yang kecil itu kadang hanya perlu diolah dengan mengunyah sekeping tahu akan segera beres, yang besar mungkin perlu kesejukan gunung meneduhkannya—dengan terus bertambahnya tahap-tahap kita itu dan jiwa kita terus mekar maka idealnya kita semakin santui dan profesional mengolah emosi-emosi itu. Semoga jangan sampai itu menjadi api dan membakar riwayat kebaikan hidup.
Namun, sesungguhnya seperti apapun ‘bentuk’ yang kita terima yang membuat kita emosi mereka tidak bertanggung jawab atas reaksi kita, itu adalah hasil kita, bentuk kita yang mungkin masih prematur. Pada tahap pengolahan itu bila sudah muncul sebuah fakta yang bisa diterima dengan tulus bahwa ada loh reaksi orang yang berbeda dariku maka ini akan mengingatkan bahwa kita hanyalah manusia yang sedang berusaha.
Aku suka menantang orang-orang yang memperjuangkan cita-cita abadi dengan pertanyaan apakah bentuk yang mereka kerjakan akan menghasilkan bentuk dengan distorsi negatif yang besar untuk masa depan yang akan ditanggung oleh penerus atau publik? Apakah bentuk itu masih bisa diperas lagi untuk menghasilkan bentuk lain yang lebih ‘ideal’? Untuk sampai di sana dalam level eksekusi sebuah institusi butuh pengorbanan dan waktu yang kompleks sedangkan untuk seorang pribadi butuh tujuan hidup yang jelas.
Bagaimanapun hasil bentuk yang telah diperjuangkan untuk diolah oleh pikiran dan hati terlebih dahulu dengan segala keterbatasannya perlu mendapat jempol di antara gelombang instan; manusia semakin menuju untuk instan untuk memotong proses mempercepat hasil.
Sebagian kelompok mengatakan ingin semakin ringkas atau sederhana tetapi pendalamannya sebenarnya menuju ke ‘instan’. Ringkas atau “sederhana” yang mereka maksud sebenarnya penemuan sederhana yang dangkal karena “sederhana” tidaklah sesederhana yang mereka pikirkan bila ingin serius mengolah.
PENTING! SEMUA INFORMASI SITUS DILINDUNGI UU. LIHAT SYARAT & KETENTUAN PEMAKAIAN
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.