Diversitas3: Kapok
Dalam keluargaku, kami secara natural belajar dengan melihat kepolosan perjuangan ibu kami. Bagaimana ibu kami menghargai kehidupan ini adalah bentuk penghormatannya terhadap keberagaman. Seekor kecoak yang membuatnya sangat kesal tidak akan menumbuhkan sifat pembunuhnya ‘manusia memiliki jiwa pembunuh minimal di dalam hatinya’. Ibuku berusaha berbuat baik kepada siapa saja bahkan termasuk orang-orang yang pernah menyakitinya. Ibuku bukan seorang Budha, sama seperti orang Chinese yang lain, secara tradisi ibuku menganut Kong Hu Chu, kemudian menjadi Kristen. Aku pikir, apapun agamanya tidak tidak ada hubungannya dengan falsafah hidupnya, ini terkait kepolosannya! Ia menganggap orang lain sama dengan dirinya.
Kepolosan pada akhirnya akan mempermudah diri kita menerima konsep universal—tujuan yang lebih besar—penghormatan terhadap kehidupan itu sendiri.
Sementara ibuku begitu ayahku begini… Ayahku cukup rasis menyangkut orang pribumi. Bangsa sendiri (Chinese) lebih baik kata ayahku ketika melihat kebobrokan yang terjadi. Kebenciannya terhadap pribumi lebih dikarenakan perlakuan tidak adil yang ia terima pada zaman orde lama. Sifat rasisnya telah menjelma menjadi sumsum pengisi tulang-belulangnya. Orde lama menyakitinya sepanjang masa ia merasa terluka.
Maka kami, anak-anak mereka menjadi…Kakak laki-laki yang nomor tiga, menurutku ia yang paling tidak polos maka ia paling kapok ketika berbuat baik dan hasilnya tidak sesuai dengan yang ia harapkan. Kepada saudara kandungnya saja ia kurang perhatian bagaimana bisa berbuat lebih baik kepada pihak lain? Dia adalah seorang pebisnis ulung, pengetahuannya tentang bagaimana memainkan kekuatan uang dalam kehidupannya telah memakan jiwa kanak-kanaknya sampai ke akar-akarnya. Ia lupa penderitaan yang pernah mengikat kami begitu kuat untuk saling menyayangi satu sama lain. Ia telah kehilangan kepolosannya setelah mengembangkan realitas 100%. Cara berpikir ayahku menurun ke dalam dirinya bulat-bulat. Ia memang percaya semua manusia sama tetapi apalah artinya mempercayainya kalau tidak bisa menerimanya? Ketika dihadapkan pada pilihan, sifat rasisnya menjadi sumber penilaian.
Kakakku yang nomor empat, JJ, masih terus konsisten. Ajaran-ajaran Budha menjadi pagar pengamannya namun kepolosannyalah yang membuatnya kembali percaya kepada orang lain walau setelah cukup sering dipermainkan oleh kepolosan. Falsafah ibuku banyak mempengaruhi kehidupannya, apalagi mereka sama-sama shio Kuda.
Kakak laki-laki nomor dua, mempunyai kisah yang unik tentang korelasi penghargaan diversitas dengan kepolosannya. Aku yakin, dengan segala pertimbangan yang sudah dilakukan maka pada suatu hari, datang orang yang tidak dikenal (non-Chinese) yang mengaku dari luar kota ke rumahnya meminta tolong. Setelah diterima menginap dan diperlakukan dengan baik namun setelah pagi, ia terbangun sambil tergagap “bagaimana diversitas sangat liar dan membahayakan urusan ‘domestik’nya”. Tamunya kabur dan membawa beberapa barang di rumah. Apakah kakakku kapok? Tugasnya sebagai pendeta sulit baginya untuk tidak berbuat baik kepada semua orang, karena sebelum kejadian ini, 20 tahun yang lalu, seorang teman lamanya yang sudah dikenal baik, sama-sama orang Chinese meminjam mobil dan tidak pernah dikembalikan hingga detik ini!
Beberapa tahun yang lalu, saat aku tanya kapan mobil akan dikembalikan, jawab kakakku jangankan mobilnya orangnya saja sudah tidak tahu hutan rimbanya. Lupakan masa lalu itu maksud kalimatnya: Klimaks penghargaan terhadap diversitas tidak akan pernah mengenal kapok.
Tidak ada jaminan untuk sesuatu yang telah mendapat predikat baik dan sebaliknya berlaku tidak bisa menghukum satu kelompok gara-gara satu individu. Manusia dalam rangka bertahan, suka mengelompokkan suatu masalah dan kejadian untuk identifikasi diawal. Identifikasi kemudian tersebar dan menjadi sebuah “merek”. Merek kelompok licik, kelompok suka pinjam tidak suka mengembalikan, kelompok pencuri atau kelompok tukang kawin. Setiap bangsa memang mewarisi sifat fenotip dan genotip leluhurnya namun faktor lingkungan yang akan melahirkan pribadi baru.
Kapok adalah suatu reaksi syok yang sangat alamiah dari keterdesakan manusia dalam suatu situasi namun kapok tidak boleh menghentikan kebaikan. Karena materi pembentuk manusia adalah kebaikan maka ketika dorongan hati datang untuk menolong, manusia seperti berada dalam dilema “dimakan ibu mati tidak dimakan ayah mati”, namun setelah mengikuti dorongan hati malah tertipu, akhirnya sangat mudah terguncang: kapok. Rasa kapok hanya harus boleh menghidupkan sensor kewaspadaan karena semakin besar kemurahan hati semakin kewaspadaan rapuh.
Kalau pun sampai terjadi, seperti pengungsi yang sudah diterima dengan baik namun ternyata di antara mereka disusupi ISIS, dunia tidak akan berhenti memberi kebaikan sampai kapanpun. Ribuan tindakan jahat akan melahirkan mungkin ratusan mungkin puluhan orang baik namun ribuan kegiatan baik tidak akan melahirkan orang jahat yang benar-benar jahat walau hanya satu orang.
Perjuanganku sedikit berbeda, latar belakang yang membentukku begitu kompleks. Jaringan dalam pikiranku merupakan kombinasi rumit sekaligus sederhana. Selain aku diperkaya pengalaman ibuku dan juga mempertimbangkan pemikiran ayahku, aku juga diperkaya oleh batu, rumput teki, angin dan harum bunga-bunga namun hawa sejuk gunung membuatku lebih mengalir dalam mengambil keputusan dan kadang terkesan ‘irasional’ dalam konteks tertentu.
Sepuluh tahun lalu, sewaktu akan menikah dengan Squal (nama samaran) dari suku yang berbeda, sedikitpun ibuku tidak pernah mempersoalkan warna kulit. Dengan polos ibuku mendukung dan mengharapkan kebaikan yang terjadi. Menjelang hari-hari terakhirnya, ibuku masih sering menanyakan Squal dan hingga akhir hayatnya ia masih berasumsi Squal adalah menantu yang baik dan perkawinan kami lancar padahal perkawinan itu sudah tidak ada ‘aku tidak mampu menghancurkan kepolosan dirinya’. Biarlah ibuku menghadap sumber segala kepolosan dengan segala kepolosannya.
Ayahku yang agak rasis, memilih tidak berkomentar dan menyerahkan sepenuhnya kepada diriku. Ketika mengetahui ada sesuatu didalam perkawinanku, aku rasa sumsum rasisnya telah menyumbat hatinya. Mungkin saja dalam diamnya, sebenarnya ia sudah beropini sejak perkawinan terjadi dan ingin membuktikan apakah calon menantunya bisa menegasikan rasisnya tetapi akhirnya ia kapok aku rasa. Nah apa kataku tentang bangsa pribumi dalam hatinya mungkin berkata seperti itu.
Jangan terlalu berkecil hati kalau akhirnya dilukai oleh kepolosan karena pihak yang memanfaatkan kepolosan juga mengalami perubahan luar biasa. Boleh dikata kalau benar-benar kau bersikap tulus dalam kepolosan maka kedua belah pihak sama-sama shok dan sama-sama kapok yang positif!
Kepada pihak pengambil kesempatan, akan datang banyak malam ia dibangunkan kepolosan. Aku sudah menyaksikan begitu banyak orang yang memanfaatkan kepolosan, akhirnya terdorong melakukan perubahan total. Hati manusia sesungguhnya tidak sanggup tidak tersentuh dengan kepolosan. Seperti gugatan gulai kepala ikan yang aku masak dengan polos dan tulus untuk Squal, telah aku lihat mulai bekerja. Sampai detik ini, ikanku tiada henti menari-nari di dalam batinnya, merongrong nuraninya dan terus menjadikannya pribadi yang bertumbuh.
Aku sendiri mengalami banyak transformasi yang akhirnya membawaku kepada lentera hidupku. Menjadi seorang penulis adalah yang paling aku inginkan dari semua keinginan dan kebutuhan dan mengapa harus melewati begitu banyak padang gurun untuk bisa menjadi penulis? Satu hal yang aku ketahui, semua pengalaman itu diberikan sebagai modal awal tulisan. Inilah yang aku maksud kapok yang positif. Kekayaan tersebut adalah kekayaan batinku atas harga yang aku bayar untuk proses yang aku terima dengan segenap jiwa.
Rasis sesungguhnya adalah ekspresi diri yang merasa cemburu terhadap orang lain mendapat lebih baik ‘lebih banyak’ padahal tidak ada sedikit pun bagiannya yang diambil. Rasis akan menunggang kelompoknya untuk mendapat multiplikasi dukungan namun bersifat tidak rasis juga harus mampu memandang diri sendiri sama rata dengan yang lain agar cinta dapat tumbuh secara sehat.
Rasis dipicu dari kebanggaan yang terlalu berlebihan dalam diri seseorang bahkan termasuk nasionalisme. Nasionalisme yang tidak rasis dalam diversitas manusia adalah nasionalisme yang berjiwa bangsa bumi. Rasanya pendekatan sebagai berkebangsaan bumi sulit membuatmu kapok dalam menghargai diversitas.
Ini tulisan seri ke-3 seri diversitas. Baca seri ke-1 Diversitas: Polos, seri ke-2 Diversitas: SARA, dan seri ke-4 (selesai) Diversitas: Murah Hati.
PENTING! SEMUA INFORMASI SITUS DILINDUNGI UU. LIHAT SYARAT & KETENTUAN PEMAKAIAN
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.