Fatamorgana
Jujur, sebagai pemakai medsos aktif, aku cukup dibuat penasaran kalau tidak mau kukatakan dibuat terikat olehnya. Mungkin berawal dari iseng dan entah bagaimana pikiran seperti otomatis bergerak ke titik saraf medsos; berapa orang sih yang telah follow aku, siapa saja sih yang telah like gue dan mereka itu sopo sih, orang terkenal gak seh. Ada gak ya yang komen?
Waktu pun berlalu, esok menjadi seminggu, berbulan-bulan menjadi bertahun-tahun kita telan polanya tanpa ada penyadaran bahwa sebenarnya apa yang telah kita makan adalah sebuah kecacatan dalam proses berpikir tentang pengakuan diri untuk membuktikan “kita ada”. Kita ini sebenarnya sedang ngapain? Kita ini siapa dan sedang mau kemana?
Mungkin benar, sebenarnya sebagian dari kita melakukannya karena memanfaatkan waktu luang atau di sedang jenuh setelah beraktivitas lalu mengulik-gulik sebentar di medsos itu, tetapi kemampuannya membuat kita lupa diri dan lupa segalanya; adalah fakta kehebatan medsos.
Kali ini mungkin karena lagi error bukan iseng kukira; entah bagaimana beberapa waktu lalu aku mencoba aktif di IG, sosmed terakhir yang pikirku ingin aku miliki setelah punya FB, Twitter, Linkedin dan Youtube. Mungkin aku terpicu karena ada seseorang yang sering mengirimku link aktvitasnya yang di IG. Sejak itulah aku mulai sering membuka IG untuk melihat kirimannya.
Aku pun mulai beradaptasi dan cukup tertantang mempelajari IG. Oh ternyata asyik juga pikirku. Sebagai pengguna baru, sudah bisa ditebak aku mulai masuk ke pola angka. Berapa orang yang sudah mengikuti aku? Mengapa ya pengikutku berkurang?
Haduh! Sudah lama sebenarnya aku renungkan untuk apa punya sosmed kalau yang aku posting tidak ada yang memperhatikan, seperti akun twitter-ku dibangun April 2013 baru ada 106 follower dengan 1.272 tweets. Isi tweets 99,9% terkait tulisanku dan paling banyak 5 tweets terkait hal lain. Mungkin Twitter bagiku hanya sekedar tempat untuk meletakkan tulisan setelah itu masa bodoh. Lain lagi kisah petualangan di FB karean setiap sosmed punya jalan gembira dan susahnya sendiri. Di Facebook pertemanan sengaja kubatasi, komentar dan interaksi kulakukan karena biasanya sudah capek menulis; jadi bayangkan suatu tempat dimana yang miskin dan kering itulah dinding dinding medsosku.
Bagi seorang penulis yang ada tanggung jawab agar hasil karya bisa dibaca banyak orang tentu sangat tahulah fungsi medsos. Medsos memang adalah alat yang cukup efektif untuk promosi. Jujur karena alasan itulah maka aku buka medsos dan hingga hari ini aku terus komitmen berbagi tulisan dari situs-ku ke semua medsos-ku.
Sering aku berpikir ada yang tidak beres, bila seorang penulis punya medsos dan ingin pemikirannya bisa bermanfaat lalu tidak peduli dengan apa yang terjadi di medsos sementara ia hanya punya medsos satu-satunya alat yang ia pakai untuk menyebarkan gagasannya, tetapi tidak membangunnya dengan serius padahal ia tahu caranya! Lalu bagaimana caranya pemikirannya itu bisa berbicara? Apa sebenarnya dia menulis hanya untuk diri sendiri? Itulah yang terjadi dengan diriku. Sungguh!
Bingung kan? Aku saja bingung..heee. Mengurus lima medsos sangatlah menyita waktu dan terus terang menimbulkan kelekatan. Setiap kelekatan adalah penderitaan kata Budha. Hal yang paling berpotensi menyamarkan kejernihan adalah kelekatan.
Biasa yang kupikir selalu tidak pernah berhenti di satu titik saja, lalu yang kupikirkan kemudian apakah kejernihan itu bisa diketahui itu jernih kalau tidak pernah mengalami fatamorgana?
Jangan sampai! Aku sudah cukup mengalami fatamorgana, tetapi aku tidak ingin mengatakannya tetapi aku sudah mengatakannya namun bukan untuk maksud menyombongkan diri bahwa diriku telah begitu mudah mencapai kejernihan. Medsos di antara butuh tidak butuh untukku. Inilah aku seperti hidup di antara bayangan dan kenyataan.
PENTING! SEMUA INFORMASI SITUS DILINDUNGI UU. LIHAT SYARAT & KETENTUAN PEMAKAIAN
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.