Tiada Hari Tanpa Bahagia
Sebagaimana biasanya orang gunung yang meringkuk kedinginan di malam hari, meninggalkannya juga tak rela karena ada antusiasme menanti-nanti sang mentari di depan jendela, di sisi yang paling menyenangkan hati, Giharu selalu menyenangi dua waktu itu lebih dari apapun. Malam tak ingin dilepas pagi pun harus disambut. Siang hari menjadi kendala tersendiri baginya namun rahmat bagi penjaga kehidupan.
Sebagai Ibu
Keseharian Giiharu sambil terus antusias bersama relawan menggolkan panggilan buku, Giharu adalah seorang ibu sama seperti ibu lainnya, membantu anaknya belajar, mengurus beberapa keperluannya, bermain catur, monopoli atau bulu tangkis sedikit dengannya, mengajak anaknya ke kota agar ia masih terhubung dengan ‘suatu gairah’ yang pernah mempunyai peran penting membentuk Giharu seperti ini sekarang dan kemudian mempersiapkan anaknya menjadi seseorang yang kelak dibanggakan negeri ini.
Dengan Sahabatnya
Teman atau sahabat adalah orang yang datang dan pergi dalam suatu rel perjalanan waktu anak manusia, mereka adalah angin yang tidak bisa diperintah sana-sini walau dengan kata-kata memelas, seperti: “Hai teman ugh,.. datanglah memeluk dan berikan kehangatan,” hanya akan menuai kesia-siaan. Menurut Giharu, sahabat hanya pantas dirasa kehadirannya lalu mempersilakan mereka pergi dalam kebebasannya.
Giharu mempercayai bahwa manusia bukan makhluk sosial dalam tinjauan kepentingan sebagai seorang pribadi yang sejati dan utuh yang butuh kesunyian untuk bertemu diri maka janganlah ditanya siapa sahabat Giharu? Kalau rumput grama, angin liar serta batang pohon pinus saja bisa menjadi sahabatnya apalagi seseorang yang mempunyai pribadi.
“Datanglah duhai sahabat pencinta kehidupan, dari atas lereng Sindoro Sumbing aku telah melihatmu menapaki jalanmu.”
Menulis dan Menulis
Dengan menulis Giharu menemukan dirinya yang organik, embun pagi dan harum pucuk daun pepohonan pegunungan yang aduhai memberikan kepada Giharu suatu pemahaman hidup yang terus diperbaharui seperti bunga yang tak perlu berjanji untuk selalu mekar pada waktuya.
Terus percaya mimpi dan cita-cita seperti yang Giharu tulis bisa ditegakkan di atas Gunung Sindoro Sumbing, mencari kegembiraan sesaat dikala kesepian, menutupi keburukan diri dari geliat kota-kota seperti Magelang dan Yogyakarta lalu kembali pulang ke gunungnya, tenggelam menulis dan menulis. Boleh dikatakan sepanjang harinya ia selalu menulis.
Comments