Keris Di Belakang
Terakhir pendukung Jokowi dihebohkan dengan masuknya Ngabalin ke istana dan tiba-tiba TGB menyatakan dukungan kepada Jokowi. Ngabalin dan TGB adalah musuh Jokowi awalnya. Sebenarnya hal ini biasa saja kalau terjadi pada partai yang politikusnya doyan gonta-ganti baju demi mencari aman, tetapi ini justru terjadi pada tubuh pemerintah. Apa yang diharapkan pemerintah padahal TGB sedang dalam penyelidikan KPK?
Dalam politik Indonesia terkenal dengan istilah “tidak ada musuh yang abadi yang ada hanyalah kepentingan yang abadi“, tetapi sayang kepentingan yang dimaksud di sini bukanlah kepentingan bangsa melainkan kepentingan diri dan kelompok sehingga kalimat ini sering dijadikan bahan ejekan untuk politikus busuk. Mementingan diri dan kelompok yang tidak bisa diberangus membuat demokrasi Indonesia tidak pernah bisa dewasa dan nasib rakyat selalu menjadi taruhannya. Partai menjadi sarang ‘penjahat’.
Menurut Joseph Nye, dalam konsep soft power atau kekuatan lunak yang ia perkenalkan pada tahun 80’, kekuatan lunak adalah kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain untuk mencapai tujuan yang kita inginkan. Kekuatan lunak dalam hubungan oposisi adalah menarik pihak lawan dan melakukan co-opt. Tentang co-opt adalah menambahkan atau memasukkan anggota lawan ‘oposisi’ ke dalam proses atau kelompok kita. Dalam budaya kita, mungkin lebih tepat disebut merangkul pihak lawan. Dalam buku “Perang Ala Sun Tzu juga bisa kita temui teknik ini. Masuknya TGB dan Ngabalin bisa kita nilai sebagai pendekatan kekuatan lunak yang dipakai Jokowi. Kekuatan lunak ala Jokowi sering terlontar dalam pembicaraan umum, “Jangan macam-macam keris Jokowi itu ada di belakang loh.”
Karena kekuatan lunak telah muncul sebagai alternatif terhadap politik kekuasaan yang baku, ia sering kali dianut oleh para ahli dan pembuat kebijakan yang berpikiran etis. Tetapi soft power adalah konsep yang deskriptif daripada normatif. Seperti bentuk kekuasaan apa pun, dapat digunakan untuk tujuan baik atau buruk. Sementara kekuatan lunak dapat digunakan dengan niat buruk dan menimbulkan konsekuensi yang mengerikan, itu berbeda dalam hal sarana. Pada dimensi inilah seseorang dapat membangun preferensi normatif untuk penggunaan kekuatan lunak yang lebih besar. [Wikipedia]
Aku setuju dengan pendekatan kekuatan lunak, tetapi dengan memasukkan lawan ke dalam tubuh sangat berisiko. Dengan model musuh yang sangat tipikal Indonesia ‘sangat terpapar penghidupan, citra dan pangkat seseorang dan belum murni pada perjuangan gagasan’, maka apakah keputusan memasukkan mereka sudah tepat waktunya? Kedua seberapa besar porsi yang diberikan? Apakah sebanding dengan pengorbanan? Apakah punya masa waktu yang jelas dan pihak lawan paham sehingga ekspektasi mereka tidak menjadi bola liar?
Oleh sebab itu siapa duluan yang punya inisiatif adalah parameter dini untuk mengukur kekuatan lunak ini strategis atau tidak. Dalam hal ini pemilik otoritas atau pemerintah harus menjadi pihak yang proaktif karena akan berbahaya sekali kalau oposisi yang aktif terlebih dahulu mendekati pemerintah. Pemerintah saat ini dinilai telah berjalan pada rel yang benar sehingga yang benar yang harus meluruskan yang bengkok. Ditambah lagi politikus Indonesia masih sangat minus kenegarawan sehingga sangat mungkin pihak lawan menyusup melalui pendekatan kekuatan lunak ini. Ini bukanlah dongeng bahwa hanya ada kepentingan diri dan kelompoknya walau kepentingan bangsa harus dikorbankan bagi politikus dan partai busuk!!
Menurutku pertanyaan seperti apa yang mendasari Ngabalin atau TGB bisa berubah pikiran bukanlah yang harus kita bahas di sini karena tidak ada manfaatnya kalau kita meletakkan pihak Jokowi sebagai subjek penggerak. Pertanyaan berikutnya yang lebih krusial dan yang akan terus menghantui pihak Jokowi apakah bisa memakai otoritasnya untuk memberi pengaruh dengan maksimal? Maksudnya adakah proses ‘mendidik’ atau mentransfer ideologi kewargaan dari berwawasan keagamaan menjadi berwawasan kebangsaan secara efektif? Ini pekerjaan yang melelahkan karena tidak ada batas waktunya. Makanya aku mengatakan risikonya besar dan kukira pihak Jokowi tidak punya waktu mengurus hal beginian dan lebih membiarkan natural law berlaku.
Teori psikologi juga berlaku bagi politikus bahwa ilmu kepribadian dirumuskan berdasarkan pola-pola manusia sejak ratusan bahkan ribuan tahun; tentang karakter berwawasan ‘kebaikan universal’ tidak bisa dibentuk dalam waktu sekejap, tetapi merupakan perjuangan seumur hidup. Hal ini hanya bisa dilakukan kalau orang sudah merasa cukup untuk dirinya, selama ia belum cukup ia akan terus mengambil hak rakyat secara langsung maupun tak langsung.
Sehingga kepentingan negara yang harus lebih besar tidak tersandera melulu dengan kepentingan mereka yang bisa berubah-ubah sebagaimana mereka adalah politikus pada umumnya. Langkah amannya peran yang dikasih ke mereka tidak boleh banyak. Ok kita setuju untuk menghadapi mulut lawan yang koar-koar seenak udelnya peran Ngabalin sangat tepat.
Berdasarkan hasil jejak digital kita dapat melihat perilaku mereka dalam menjatuhkan Jokowi dan Ahok sangatlah jahat. Hal ini juga perlu dicermati agar maksud baik bisa berbuah baik secara maksimal. Idealnya mereka atau siapapun yang pernah melukai rasa kemanusiaan perlu meminta maaf terlebih dahulu di ruang publik sebelum jauh melangkah agar kelak tidak menyulitkan diri mereka sendiri. Misal mereka akan tetap dicap kutu loncat atau tidak berpendirian walaupun sudah menunjukkan performa kebangsaan pada masa akan datang.
Dan kalau benar-benar pihak Jokowi merasa yakin bahwa mereka sedang membawa pihak lawan ke arah pencerahan maka harga ini sangat layak dibayar dengan suatu usaha ‘pendidikan’ dan pendekatan terus-menerus dan tidak cukup sekedar memasukkan mereka ke gerbong kencana saja. Karena kestabilan pendirian seseorang yang disebabkan kepentingan politik sangat rapuh oleh dinamika politik kembali.
PENTING! SEMUA INFORMASI SITUS DILINDUNGI UU. LIHAT SYARAT & KETENTUAN PEMAKAIAN
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.