Ahok Adalah Pelangi
Pak Ahok, ketidakadilan yang menerpa dirimu adalah cermin bagi kecinaanku. Di hari ulang tahunmu aku khusus merenunginya. Sebuah arti ketidakadilan, intoleransi serta intimidasi yang telah dialami oleh anak bangsa yang kebetulan lahir dari keturunan Cina.
Tiba-tiba dengan begitu mudahnya aku kembali memasuki labirin hidupku sebagai orang Cina di masa lampau. Suatu hari di kampungku di Medan di Jl. Ngalengko, pada masa itu banyak wanita Tionghoa melakukan operasi mata. Ada satu keluarga yang biasa kami panggil Nyuk Cai, rumahnya persis di sebelah gang yang banyak hantunya. Semua perempuan di dalam rumah itu melakukan operasi mata kecuali ibunya yang sudah tua. Anak perempuan dari yang terbesar sampai terkecil; Nyuk Ce, Nyuk Li, Nyuk San, Nyuk Ta dan Nyuk Ra dan ipar-iparnya semua operasi mata.
Saat lewat rumah mereka aku selalu tidak habis pikir mereka ini sebenarnya sedang apa? Mengapa berganti-gantian operasi mata? Usiaku kira-kira mungkin sekitar 10 tahun saat itu tetapi peristiwa seperti itu berlangsung bertahun-tahun karena banyak juga tetangga lain melakukannya. Setelah selesai operasi, mata mereka kulihat membengkak seperti kena tonjok puluhan kali. Lewat 2 bulan operasi, aku baru mengerti setelah lipatan mata mereka muncul.
Aku terus merenung mengapa mereka sampai jual perhiasan dan hutang sana sini untuk operasi? Menurutku matanya jadi tidak normal. Aneh sekali, masa lebih besar kelopak dibandingkan biji mata? Mungkin sedang tren mata belok identik dengan kecantikan tetapi tahukah bahwa setiap ejekan yang diterima masyarakat Cina saat itu sudah masuk taraf menakutkan. Mata sipit identik Cina dan wajib dibasmi ‘diperas’. Siapa yang bisa membayar akan aman.
Siapapun tahu tidak ada urusan tanpa uang di Medan tetapi banyak yang tidak mengetahui bahwa ungkapan itu berasal dari keberhasilan ‘orang-orang pribumi’ memeras orang-orang Cina Medan. Orang-orang Tionghoa Medan adalah orang-orang yang hidup dalam ketakutan secara turun-temurun karena mereka masih punya masalah selain terkait mata sipit juga terkait melafalkan bahasa Indonesia yang kurang tepat menurut orang-orang pribumi tersebut.
Dalam pikiran orang Tionghoa yang tinggal di Sumatera, sebagian besar hanya sekolah tinggi-tinggi, cari duit sebanyak-banyaknya dan kabur ke Singapura. Orang Cina Medan hidup secara eksklusif dan mereka juga mempunyai sifat merendahkan orang pribumi. Hal begini terjadi karena ada hubungan sebab akibat, agenda mana telur mana ayam aku selalu tidak tertarik membahasya. Karena kalau mau jujur kita harus mengadakan penyelidikan mendalam sebelum membuat sebuah analisa kemudian kesimpulan. Tetapi faktanya Singapura adalah negeri harapan bagi mereka. Tanpa melihat penyebaran penduduknya populasi Tionghoa Medan menurun drastis. Tahun 1930 warga Tionghoa mendominasi hampir 36%. Data BPS 2000 tersisa 10%, BPS 2010 mungkin hanya sekitar 1-2%. Total penduduk Medan BPS 2010 sekitar 12 juta jiwa.
Dari demografi kita bisa menilai seberapa besar kebahagiaan warganya. Demografi merefleksikan keterikatan masyarakat dengan wilayahnya tumbuh, besar dan bagaimana ingin berbakti. Semakin aman dan damai semakin banyak warga berdiam. Dalam konteks sentimen etnis hal ini sangat berpengaruh sekali.
Jadi kupikirkan lagi, keputusan wanita-wanita Cina Medan pada saat itu bukan semata mau cantik, mereka mau meraih dua hal dalam sejumlah uang yang dikeluarkan seperti ketakutan yang telah berubah menjadi kebiasaan diperas. Mereka mau aman! Mata belok tetap tidak bisa menutupi kecinaan karena rupanya baru saja mereka pamer mata belok di depan teras rumah, duduk-duduk menurunkan isi perut sehabis makan sore, anak-anak kampung yang lewat langsung teriak woii Cina loleng Cina loleng. Kalian tahu ungkapan Cina loleng sangat menyakitkan untuk mengejek lidah orang Cina yang tidak bisa tegas menyebutkan hurup “R”.
Tipikal mau cari aman demi membela dagangan sudah membudaya. Hal ini semakin menjauhkan mereka dari rasa nasionalisme. Nasib dan masa depan anak cucu yang tidak mampu keluar dari kota Medan ya seperti sekarang ini; tidak bisa bangkit melawan melainkan diam ditindas!
Pak Ahok, kita sebagai orang yang sangat mencintai negeri ini tetapi negeri ini tidak mencintai kita dan atas apa yang telah dirimu alami dan atas apa yang telah bangsa ini lakukan aku menyimpannya erat-erat di dalam kalbuku. Bibit-bibit kemarahan telah tumbuh subur berkat engkau Pak Ahok, terima kasih engkau memberinya jalan untuk diurai.
Untuk merenungi bulan Juni, ada Pak Jokowi, ada Bung Karno putra-putra terbaik bangsa. Di keluargaku ada dua pejuang yang lahir di bulan Juni. Bapakku seorang pejuang yang berani menentang rezim saat itu dengan caranya yang tanpa daya, ia berulang tahun ke-88 di dalam roh pada tanggal 20 Juni lalu, aku mewarisi keberaniannya sedangkan anakku pada tanggal 22 Juni yang mencapai 12 tahun aku mengemban masa depannya. Kuharap kelak anakku melanjutkan perjuangan ibunya untuk bangsa ini dan menjadi kebanggaan bangsa ini serta tidak mempermalukan ibunya. Mereka berdua adalah alasanku berjuang melawan intolerensi, melawan ketidakadilan dan melawan intimidasi saat ini. Hari ini dan esok akan kuperjuangkan bersama tunas-tunas lain yang telah tumbuh subur.
Ketika aku ingat selalu mengatakan lebih beruntung karena lahir dengan mata belok dan lidah tidak pelog tetapi nyata-nyata kecinaanku sering membuatku kurang beruntung. Kalau diurutkan melebihi gulungan kain yang dicetak oleh mesin garmen, panjang sekali disparsitas yang dialami oleh orang-orang Cina Indonesia seperti kami. Dari nenek moyangku hingga generasi anakku kini belum juga usai bangsa ini menyelesaikan masalahnya. Kuharap waktu kan menghapusnya. Segera!
Tidak ada penyesalan untuk membangun masa depan tetapi kecurangan Pilkada DKI menyisakan kemarahan yang lain lagi.. dan dalam renungan yang lain lagi.
Pak Ahok, sekarang aku lebih suka memakai bahasa Jawa. Di Jawa aku merasa lebih diterima. Proses internalisasi kecinaan di Jawa lebih baik sehingga aku kini bisa menerima buah-buah usaha leluhur Cina Jawa. Jenengan mungkin tidak pernah terpikirkan bisa merayakan haul di penjara tetapi pernahkah terpikir bahwa ulang tahunmu kali ini lebih indah karena tunas-tunasmu merayakannya dalam sebuah perspektif yang berbeda. Dimensinya seperti pelangi. Sangat indah sekali. Ada harapan dan tujuan yang semakin meruncing di bilah-bilah kekerdilan. Oh elok sekali..
Kami yang ada di sekitar Mako telah bersamamu. Lima puluh hari dikau di penjara 50 hari kami tumbuh daun dan cabang. Dua tahun di jeruji 2 tahun kami berbuah dengan sekat-sekat tulang rusuk yang kokoh. Susah senangmu adalah suka duka kami. Kami yang menjaga di Mako hanya sebagian kecil dari pendukungmu. Kami hanyalah representasi lilin-lilin Ahok yang tidak bisa dipadamkan. Harapan kami kau di sana selalu hangat oleh harapan kolektif anak bangsa.
Penjara hanyalah puncak ketidakadilan yang sudah direkayasa dari gangguan demi gangguan sejak dirimu menjabat, namun tenanglah sekarang tangan-tanganmu seperti Dewa, banyaknya tak terkira, merangkul bumi menggetarkan jiwa bangkit melawan. Orang-orang picik yang hanya fokus pada identitasmu tidak akan tahan dengan sinarmu. Bersinarlah terus berkaryalah terus!
Selamat Ulang Tahun ke-51. Kulo kondur Temanggung sebentar untuk menyiangi hati dengan air gunung. Kanjeng Gusti memberi selamat bagi orang-orang baik sepertimu. Sehat dan selalu bahagia. Salam untuk keluarga.
Berkah Dalem.
Dari Tenda Perjuangan SSSA- Mako Brimob
Giharu Si Perempuan Gunung
Ketua RKP.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.